.

New Snowline Chainsen Pro Extra Large Size Eisen Crampon Micro Spikes Snow Ice

New Snowline Chainsen Pro Extra Large Size Eisen Crampon Micro Spikes Snow Ice
Rp 792.953

SONY PLAYSTATION 4 (PS4) 500GB

SONY PLAYSTATION 4 (PS4) 500GB
Rp 4.675.000 - 5.500.000

Novel Bertema Beladiri

Novel Bertema Beladiri

pesan hotel murah di sini !

Iklan

Web Utama

Menu

KECEMASAN OLAHRAGA

Posted by Berman HS Sabtu, 07 September 2013 0 komentar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Olahraga sebagai salah satu unsur yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, telah ikut berperan dalam mengharumkan nama daerah dan bangsa, baik melalui kompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Setiap bangsa di seluruh dunia berlomba-lomba menciptakan prestasi dalam kegiatan olahraga, karena prestasi olahraga yang baik akan meningkatkan citra bangsa di dunia internasional. Sepanjang tahun 2005, catatan prestasi Indonesia sangat memprihatinkan, baik di tingkat Asia Tenggara maupun dunia. Kontingen Indonesia banyak yang mengalami kegagalan dalam mengikuti berbagai kompetisi internasional. Jadi, sudah sangat jelas sekali bahwa keterpurukan prestasi olahraga Indonesia saat ini merupakan suatu realitas dari kondisi olahraga Indonesia (http://www.fajar.co.id/ news.php?newsid=14885). Realitas dari kemerosotan prestasi olahraga tersebut dapat dilihat dari turunnya peringkat Indonesia pada serangkaian kompetisi baik dalam regional maupun internasional. Pada SEA Games misalnya, sejak tahun 1977 Indonesia selalu menduduki posisi juara umum, tetapi mulai pada SEA Games XIII/1985 melorot ke urutan kedua dan disusul pada SEA Games XVIII/1995 juga urutan kedua. Namun, pada SEA Games XX/1999, SEA Games XXI/2001 dan SEA Games XXII/2003 kedudukan Indonesia malah terperosot jauh ke peringkat ketiga. (Kompas, 17 Mei 2005). Ironisnya, pada SEA Games XXIII/2005, kontingen Merah Putih gagal lagi mempertahankan kedudukannya, malahan semakin terpuruk ke posisi lima.
Keterpurukan prestasi olahraga Indonesia saat ini yang semakin jauh disebabkan karena beberapa cabang olahraga individual, yang menjadi andalan bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh medali, juga ikut mengalami penurunan prestasi. Salah satu diantaranya, dapat dilihat pada cabang olahraga Karate. Karate sebagai olahraga bela diri yang di gemari bangsa Indonesia mengalami penurunan prestasi sejak lima tahun terakhir ini. Semenjak SEA Games XXI/2001, Kejuaraan Dunia 2003 dan SEA Games XXIII/2005, tim karate Indonesia selalu gagal merebut kehormatan sebagai juara umum, padahal sebelumnya tim karate Merah Putih selalu menduduki juara umum pada event regional dan internasional tersebut (http://www.silat.blogsome.com/03/23/journal). Olahraga bela diri asal Indonesia ini, yang seharusnya dimiliki dan didominasi oleh bangsa Indonesia, sekarang telah dimiliki dan lebih maju di negara lain dibandingkan di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, perkembangan olahraga bela diri ini tertinggal dibandingkan dengan olahraga bela diri yang berasal dari luar, seperti taekwondo, karate, wushu dan judo. Manajer PB (Pengurus Besar) IPSI, Gumbira mengatakan bahwa PB IPSI harus segera melakukan evaluasi dan instrospeksi kenapa silat yang sebenarnya merupakan tradisi bangsa Indonesia harus menjadi milik bangsa lain, serta dapat melakukan pembenahan terhadap pembinaan atlet dengan segera, agar silat Indonesia bisa kembali berjaya (http://www.pikiranrakyat.com/ seagames05.htm). Beberapa pakar olahraga menyimpulkan bahwa prestasi atlet Indonesia yang semakin terperosot dalam beberapa kompetisi disebabkan oleh faktor pembinaan yang tidak konsisten, pola regenerasi atlet yang tidak jelas serta tidak tersedianya dana yang cukup. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0312/ 28/nas3.htm). Hal ini sangat bertolak belakang dengan negara-negara lain, yang telah melakukan pembinaan terhadap atlet dengan sangat intensif, sehingga prestasi dapat maju dengan pesat. Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) membentuk cabang-cabang di tingkat propinsi dan kabupaten. Pembentukan IPSI cabang merupakan salah satu usaha regenerasi atau pencarian bibit-bibit atlet-atlet pencak silat. IPSI Semarang merupakan salah satu IPSI cabang di Jawa Tengah, yang mengelola dan melakukan pembinaan terhadap atlet-atlet pencak silat tim prestasi daerah Semarang. Pada even-even di tingkat Jawa Tengah, prestasi IPSI Semarang ini berada di bawah IPSI cabang lainnya,. Fakta terbarunya dapat dilihat pada Kejuaraan Daerah Pencak Silat Pelajar se-Jateng 2006. Pada Kejurda ini, posisi pertama diduduki oleh IPSI Banjarnegara, posisi kedua diduduki oleh oleh IPSI Kudus, posisi ketiga diduduki oleh Wonogiri, disusul Purworejo yang menempati posisi keempat dan IPSI Semarang harus berada di bawahnya (http://www. suaramerdeka.com/harian /semata-mata fakta!.htm). Prestasi olahraga sangat ditentukan oleh penampilan (performance) atlet dalam suatu kompetisi. Harsono (dalam Gunarsa, 1996) mengungkapkan bahwa penampilan puncak seorang atlet 80% dipengaruhi oleh aspek mental ini dan hanya 20% oleh aspek yang lainnya, sehingga aspek mental ini harus dikelola dengan sengaja, sistematik dan berencana. Akan tetapi, di Indonesia aspek psikologis belum banyak dipelajari dan diteliti sedangkan aspek fisik atlet telah banyak dipelajari (Gunarsa, 2000 ; Hartanti dkk, 2004). Fokus pembinaan aspek mental pertandingan tergantung pada ciri khas dan pengelompokkannya ke dalam olahraga individual atau tim (Gunarsa, 1996).
Hasil penelitian Simon dan Marten (dalam Hardy et al, 1999) ditemukan bahwa kecemasan bertanding adalah lebih tinggi pada atlet muda dalam olahraga individual dibandingkan dengan olahraga tim dan lebih tinggi pada olahraga individual kontak dibandingkan dengan olahraga individual non kontak. Kemudian Wirawan (1999) melaporkan hasil penelitian Warren dan Johnson pada tahun 1991, menyimpulkan bahwa luapan emosi yang kuat sebelum pertandingan dalam bentuk rasa cemas bukan merupakan faktor utama pada sepakbola Amerika Serikat, tetapi ada indikasi yang kuat bahwa faktor tersebut merupakan sesuatu yang penting dan serius dalam gulat. Berdasarkan kedua hasil laporan penelitian di atas, maka dalam pembinaan aspek psikologis atlet karate sebagai olahraga individual kontak, seperti halnya dengan olahraga gulat sangat penting untuk memperhatikan aspek emosinya, terutama masalah kecemasan dalam menghadapi pertandingan.
 Pada situasi kompetisi, kecemasan yang harus ada sebelum bertanding adalah kecemasan dalam batas normal, yaitu sebagai suatu kesiapan mental atlet untuk menghadapi pertandingan. Apabila atlet dihinggapi rasa cemas yang tinggi dalam menghadapi pertandingan maka strategi, taktik dan teknik yang telah dipersiapkan dengan baik sebelum pertandingan, tidak akan bermanfaat lagi untuk menghasilkan suatu penampilan yang baik. Adjie Saloka, ketua bidang umum PON Jateng untuk cabang pencak silat menjelaskan bahwa atlet pencak silat sering kali dihinggapi ketegangan dan kecemasan sebelum bertanding, sehingga aspek ini perlu diperhatikan dalam pembinaan mental atlet (http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/11/ora05.htm).
Berdasarkan wawancara tanggal 14 Mei 2006 dengan pelatih pada survey awal ke KKI Pematangsintar, pelatih mengutarakan pengalamannya menjadi atlet, yang merasakan jantung deg-degan saat akan memasuki arena pertandingan, membayangkan lawan yang akan dihadapi, membayangkan bagaimana hasil yang akan diperoleh. Hal yang paling ditakutkannya dalam bertanding adalah cedera fisik, karena karate adalah olahraga yang rentan akan cedera fisik. Pelatih juga mengatakan bahwa ia juga melihat gejala-gejala yang demikian pada atletnya. Beberapa hari saat sebelum bertanding banyak atletnya yang mengeluhkan tidak siap dan mengeluh merasa cemas untuk menghadapi pertandingan.      Berdasarkan uraian di atas, maka sudah jelas bahwa kecemasan dalam menghadapi  pertandingan merupakan faktor yang penting untuk menjadi perhatian yang lebih dalam melakukan pembinaan atlet, terutama pada atlet karate. Pentingnya untuk memperhatikan tingkat kecemasan bertanding atlet adalah, karena apabila atlet dihinggapi dengan kecemasan yang tinggi, menyebabkan atlet kesulitan dalam mengontrol gerakannya. Akhirnya, akan berpengaruh terhadap penampilannya (performance). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa situasi pertandingan merupakan tekanan yang besar bagi atlet. Bagi seorang atlet tim prestasi, pertandingan atau kompetisi olahraga merupakan situasi yang membangkitkan kecenderungan kompetitif, tetapi di lain pihak juga membangkitkan motif untuk menghindari kegagalan yang dicerminkan melalui rasa cemasnya menghadapi pertandingan atau kecemasan bertanding (Sudradjat, 1995).
 Anshel (dalam Satidarma 2000) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu reaksi emosi terhadap suatu kondisi yang dipersepsi mengancam. Lebih lanjut, Anshel menjelaskan bahwa di dalam olahraga, kecemasan menggambarkan perasaan atlet bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi tampil buruk, lawannya yang dipandang superior, akan mengalami kekalahan, dan akan dicemoohkan teman apabila mengalami kekalahan. Kondisi ini akan menimbulkan kecemasan yang akan memberikan dampak tidak menguntungkan pada atlet.
Banyak hal yang menjadi sumber kecemasan bertanding bagi seorang atlet. Beberapa penelitian di luar negeri telah banyak dilakukan untuk menemukan sumber-sumber kecemasan bertanding seorang atlet, seperti penelitian yang dilakukan oleh Scanlan et al pada tahun 1991 dan Gould et al pada 1993 (Woodman dan Hardy dalam Singer et al, 2001). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sumber kecemasan bertanding pada atlet adalah permasalahan kesiapan dan penampilan, permasalahan hubungan interpersonal atlet dengan pelatih dan teman tim, keterbatasan finansial dan waktu, prosedur seleksi dan kurangnya dukungan sosial.
Selanjutnya, Woodman dan Hardy (dalam Singer et al, 2001) menjelaskan bahwa faktor kecemasan sebelum bertanding dipengaruhi oleh pelatih. Apabila pelatih memberikan dorongan yang kuat dalam mencapai tujuan dan memberikan keyakinan bahwa mereka bisa mencapai tujuan tersebut serta mempersiapkan atletnya dengan baik, maka atlet tersebut akan menunjukkan emosi yang positif sebelum bertanding. Sebaliknya apabila pelatih mencoba menekan atlet untuk mencapai tujuan yang tidak dapat dicapainya, maka atlet akan menunjukkan reaksi emosi yang negatif sebelum pertandingan.
Pate et al (1993) mengatakan bahwa sumber kecemasan yang utama bagi atlet adalah pelatih, karena pelatih merupakan sumber utama pujian dan hukuman serta pelatih dapat mendorong atlet dan menimbulkan kepercayaan diri pada atletnya atau pelatih bisa menghancurkan kepercayaan diri dari atletnya. Selanjutnya, Pate et al (1993) menambahkan bahwa kecemasan juga akan muncul apabila atlet tersebut bertanding untuk pelatih yang tidak mempercayainya.
 Uraian di atas menunjukkan bahwa pelatih juga bisa sebagai sumber tekanan dan bisa merupakan sumber dukungan dan motivator bagi atletnya dalam meningkatkan kepercayaan diri atlet untuk menghadapi pertandingan. Tuntutan pelatih yang menekan atletnya untuk mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai atlet atau diluar kemampuannya serta pelatih yang tidak mempercayainya dapat dihindari, serta dukungan dan dorongan akan dapat diperoleh oleh atlet, apabila adanya suatu intimasi antara pelatih dengan masing-masing atlet.
Menurut Reis dan Saver (dalam Prager, 1995) intimasi adalah suatu proses interpersonal yang melibatkan komunikasi mengenai perasaan personal dan informasi kepada orang lain yang diterima sebagai suatu bentuk kedekatan dan simpati. Kemudian, Kimmel (1990) mendefinisikan intimasi sebagai hubungan timbal balik antara dua individu dan saling mempercayai, yang melibatkan pengertian bahwa setiap individu unik dan berbeda. Sadarjoen menjelaskan bahwa keintiman dapat membuat orang mengatasi persoalan yang dihadapi, karena dalam keintiman terkandung unsur kesediaan mendengar yang penuh simpati, dukungan emosional, serta nasehat yang benarbenar menolong (http://www. kompas.com/harian /intimasi_01). Selain itu, dalam intimasi juga terdapat unsur keterbukaan, kepercayaan dan kejujuran (Steinberg, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa penting membangun suatu intimasi antara pelatih dengan atlet, karena dapat mereduksi kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan. Lee (1993) menjelaskan bahwa intimasi pelatih-atlet secara signifikan dapat menurunkan kecemasan, karena atlet mendapat kesempatan untuk meceritakan ketakutan dan kecemasannya kepada pelatih. Kemudian, Pate et al (1993) mengatakan bahwa atlet yang mau membagi perasaan, keyakinan, nilai dan tingkah lakunya dengan pelatih, maka mendapat dukungan dan dorongan dari pelatih, yang akhirnya dapat membuat atlet merasa lebih tenang dan percaya diri untuk bertanding. Pentingnya intimasi dalam hubungan pelatih-atlet dapat dilihat dari pernyataan Desi, atlet lompat jauh. Desi mengatakan bahwa cedera kaki yang dialaminya, menyebabkannya tidak menjalani latihan. Hal ini menyebabkan dirinya merasa cemas sebelum bertanding, tetapi karena kedekatannya dengan pelatih, yang memberikan dukungan berupa nasehat-nasehat, membuat dirinya kembali percaya diri untuk bertanding (http://www.indomedia.com/sripo/2004/09/09/0909 pon7.htm).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa intimasi pelatih-atlet memiliki arti penting dalam mempengaruhi tingkat kecemasan bertanding atlet. Oleh karena itu, penulis mengangkat variabel intimasi pelatih-atlet ini dalam penelitian sebagai variabel yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan bertanding atlet.






B.     Perumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara intimasi pelatih–atlet terhadap kecemasan bertanding dan seberapa besar sumbangan efektif intimasi pelatih-atlet terhadap tingkat kecemasan bertanding pada atlet pencak silat, serta bagaimana prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding pada atlet pencak silat, melihat seberapa besar sumbangan efektif dari intimasi pelatih-atlet terhadap tingkat kecemasan bertanding dan menemukan suatu prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan psikologi olahraga, psikologi pendidikan dan psikologi sosial, dan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kecemasan bertanding atlet, khususnya bagi atlet pencak silat yang tergabung dalam IPSI cabang Semarang, serta dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya intimasi pelatih-atlet untuk pembinaan atlet dan kerjasama tim (atlet, pelatih dan pembina) yang baik dalam rangka meningkatkan prestasi.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Bertanding
1. Pengertian Kecemasan Bertanding
Pengertian umum, kecemasan merupakan suatu kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada diri seseorang. Anshel (dalam Satiadarma, 2000) mengungkapkan bahwa kecemasan adalah reaksi emosi terhadap suatu kondisi yang mengancam. Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosi negatif yang ditandai oleh adanya perasaan khawatir, was-was, dan disertai dengan peningkatan gugahan sistem faal tubuh. Greist (dalam Gunarsa, 1996) secara lebih jelas merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan, karena senantiasa harus berada dalam keadaan was-was terhadap ancaman bahaya yang tidak jelas.
Berdasarkan pengertian di atas, kecemasan secara umum merupakan keadaan emosi negatif dari suatu ketegangan mental yang ditandai dengan perasaan khawatir, was-was dan disertai dengan peningkatan gugahan sistem faal tubuh, yang menyebabkan individu merasa tak berdaya dan mengalami kelelahan. Satiadarma (2000) menjelaskan bahwa di dalam dunia olahraga, kecemasan (anxiety), gugahan (arousal) dan stres (stress) merupakan aspek yang memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga sulit dipisahkan. Kecemasan dapat menimbulkan aktivasi gugahan pada susunan saraf otonom, sedangkan stres pada derajat tertentu menimbulkan kecemasan dan kecemasan menimbulkan stres. Lebih lanjut, Anshel yang sependapat dengan Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000) menjelaskan bahwa gugahan bersifat fisiologis ataupun psikologis yang bisa bernilai positif atau negatif, sedangkan kecemasan sifatnya adalah emosi negatif. Kemudian, stres merupakan suatu proses yang mengandung tuntutan substansial, baik fisik maupun psikis untuk dapat dipenuhi
oleh individu, karena kurang seimbangnya keadaan fisik atau psikis (Weinberg dan Gould dalam Satiadarma, 2000). Terkait dengan olahraga, kecemasan seringkali dialami oleh atlet ketika atlet akan menghadapi suatu pertandingan. Pertandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlombaan dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain untuk bertanding, sedangkan bertanding adalah seorang lawan seorang. Pertandingan dalam istilah Inggrisnya, disebut dengan competition yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kompetisi. Chaplin (2006) mendefinisikan competition adalah saling mengatasi dan berjuang antara dua individu atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama. Cox (2002) mengungkapkan bahwa kecemasan menghadapi pertandingan merupakan keadaan distress yang dialami oleh seorang atlet, yaitu sebagai suatu kondisi emosi negatif yang meningkat sejalan dengan bagaimana seseorang atlet menginterpretasi dan menilai situasi pertandingan. Gunarsa (1996) menjelaskan bahwa persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi pada waktu menghadapi pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan atau mendekati pertandingan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Apabila atlet menganggap situasi dan kondisi pertandingan tersebut sebagai suatu yang mengancam, maka atlet tersebut akan merasa tegang (stress) dan mengalami kecemasan.
Amir (2004) menjelaskan bahwa kecemasan yang timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak memikirkan akibatakibat yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan atau kalah dalam pertandingan. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang demikian superior dan atlet mengalami kekalahan (Satiadarma, 2000). Rasa cemas yang muncul dalam menghadapi pertandingan ini dikenal dengan kecemasan bertanding (Sudradjat, 1995) Sementara itu, Gunarsa (1996) menyimpulkan hubungan kecemasan bertanding dalam hubungannya dengan pertandingan sebagai berikut:

a. Sebelum pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan berat tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b. Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c. Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi terutama bila skor pertandingan berimbang.
Berdasarkan uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan bertanding merupakan reaksi emosi negatif atlet terhadap keadaan tegang dalam menilai situasi pertandingan, yang ditandai dengan perasaan khawatir, was-was, dan disertai peningkatan gugahan sistem faal tubuh, sehingga menyebabkan atlet merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa berada dalam keadaan yang dipersepsi mengancam.





2. Multidimensional Kecemasan Bertanding
Wann (1997) memakai konsep Spielberger menjelaskan bahwa kecemasan pada atlet dalam menghadapi pertandingan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:

a. State Anxiety (state-A)
State anxiety adalah suatu reaksi terhadap situasi ketegangan yang sedang dihadapi, yang ditandai dengan kekhawatiran dan terjadinya peningkatan aktivitas fisiologis yang sifatnya sementara dan berlangsung untuk situasi tertentu saja. Satiadarma (2000) mengungkapkan bahwa state-A berfluktuasi atau berubah-ubah dari suatu waktu ke waktu yang lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang terjadi saat kini. Jadi, sekalipun trait-A seorang atlet rendah namun apabila atlet tersebut sedang bersiap-siap untuk menghadapi pertandingan, maka ia akan mengalami state-A yang lebih tinggi daripada jika atlet tidak sedang manghadapi pertandingan.

b. Trait Anxiety (trait-A)
Trait anxiety merupakan faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai suatu situasi yang mengandung ancaman atau situasi yang mengancam, yang relatif menetap. Apabila seorang atlet memiliki trait-A yang tinggi, ia mempersepsi situasi pertandingan sebagai situasi yang penuh dengan ancaman dan menimbulkan kecemasan tinggi pada dirinya. (Spielberger dalam Cox 2002). Cox (2002) menjelaskan lebih lanjut bahwa kecemasan sebagai state anxity atau trait anxiety memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitif anxiety) dan komponen somatik (somatic anxiety). Cognitif anxiety merupakan komponen mental, yaitu munculnya kecemasan disebabkan karena adanya suatu ketakutan terhadap penilaian sosial yang negatif, ketakutan akan kegagalan dan kehilangan harga diri. Somatic anxiety merupakan komponen fisik dan mencerminkan respon-respon fisiologis, seperti peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan dan ketegangan otot-otot.
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa kecemasan bertanding dikenal dalam reaksi kecemasan bertanding (state anxiety) dan kecemasan sebagai kepribadian (trait anxiety). State-A maupun trait-A dirasakan dalam pemikiran dan persepsi akan ketakutan menghadapi pertandingan (kognitif) dan peningkatan respon fisiologis (somatik)



3. Model Proses Kecemasan Bertanding
Model ini dikembangkan oleh Martens yang merupakan pengembangan konsep Spielberger mengenai trait-A dan state-A yang diterapkan pada situasi pertandingan. Fahmi (1995) memakai model proses kompetitif Martens untuk menjelaskan proses kecemasan menghadapi pertandingan dalam proses kompetitif. Martens menyatakan bahwa proses kompetitif terdiri atas empat unsur, sebagai berikut:

a. Situasi kompetitif yang objektif.
Situasi kompetitif yang objektif didefinisikan sebagai tuntutan lingkungan terhadap seseorang dalam proses kompetisi. Tuntutan lingkungan ditentukan oleh apa yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan hasil yang baik bila dibandingkan dengan suatu standar.

b. Kedaan kompetitif yang subjektif.
Keadaan kompetitif yang subjektif adalah cara seseorang merasakan, menerima, dan menilai situasi kompetisi objektif. Situasi kompetitif subjektif berkaitan erat dengan kecemasan kepribadian (trait-A), sikap dan kemampuan serta faktor-faktor interpersonal. Istilah situasi kompetitif subjektif yang digunakan oleh Martens dalam proses kompetitif mengarah pada suatu penilaian kognisi seseorang terhadap situasi-situasi kompetitif, yang merupakan suatu proses yang menentukan apakah respon kecemasan sebelum kompetisi akan terjadi atau tidak. Apabila situasi kompetisi menghasilkan kekhawatiran, perasaan gelisah dan meningkatnya aktivitas fisiologis, maka suatu respon kecemasan akan mengikutinya.

c. Respon terhadap keadaan
Respon adalah tanggapan seseorang terhadap situasi tertentu. Seseorang dalam merespon situasi kompetitif objektif, sebagian besar ditentukan oleh situasi kompetitif subjektifnya.

d. Konsekuensi
Konsekuensi adalah akibat yang ditanggung seseorang terhadap responnya. Konsekuensi dari keikutsertaannya dalam proses kompetisi olahraga akan membebani dirinya atau mencapai sesuatu dari orang lain (baik nyata atau tidak) yang dirasakan sebagai hadiah atau hukuman. Konsekuensi dalam kompetisi sering dimaknai dengan kesuksesan atau kegagalan. Kesuksesan dirasakan sebagai konsekuensi positif, sedangkan kegagalan dirasakan sebagai konsekuensi negatif. Wann (1997) secara sederhana menggambarkan proses kecemasan dengan menggunakan model dari Martens sebagai berikut:
Stimulus
Persepsi individu
Respon
Gambar. 1 Model Proses Kecemasan Bertanding
Situasi pertandingan
yang objektif
Ketidakpastian akan
hasil yang diperoleh
Pentingnya hasil yang
akan diperoleh
Persepsi mengenai
ancaman
Reaksi cemas
(State-A)
Trait Anxiety
(Trait-A)

Model ini menjelaskan bahwa respon dan interpretasi atlet mengenai situasi pertandingan yang dinilai sebagai suatu peristiwa yang penting akan menimbulkan suatu reaksi yang berbeda bagi masing-masing atlet. Persepsi mengenai situasi pertandingan melibatkan ketidakpastian dan pentingnya hasil yang diperoleh dari pertandingan tersebut. Persepsi atlet terhadap situasi ini akan menentukan apakah atlet menilai situasi pertandingan yang akan dihadapi sebagai suatu ancaman atau tidak. Apabila atlet menilai situasi pertandingan sebagai suatu yang mengancam, maka akan muncul respon kecemasan. Persepsi atlet terhadap situasi kompetisi objektif salah satunya sangat dipengaruhi oleh trait-A.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa respon kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan sangat dipengaruhi oleh persepsi atau penilaian atlet terhadap situasi pertandingan tersebut. Persepsi ini akan membentuk situasi kompetitif subjektif atlet apakah situasi pertandingan akan dinilai sebagai situasi yang mengancam atau tidak, juga dipengaruhi oleh faktorfaktor yang ada dalam diri atlet, seperti kepribadian, sikap, kemampuan serta faktor yang berada di luar diri atlet, seperti faktor interpersonal.

4. Gejala Kecemasan Bertanding
Kecemasan atlet saat akan bertanding dapat dideteksi melalui gejala-gejala kecemasan, yang dapat mengganggu penampilan seorang atlet. Kebanyakan para ahli membedakan gejala-gejala itu menjadi gejala fisik dan gejala psikis. Dengan demikian, gejala-gejala kecemasan bertanding yang akan dijelaskan, terdiri atas dua gejala, yaitu gejala fisik dan gejala psikis (Harsono dalam Gunarsa, 1996 ; Pate et al, 1993):

a. Gejala fisik, ditandai dengan:
1) Adanya perubahan yang dramatis pada tingkah laku, gelisah atau tidak tenang, sulit tidur.Tingkah laku yang sering ditunjukkan atlet dalam menghadapi pertandingan adalah sering menggaruk-garuk kepala dan sering jalan mondar-mandir (Amir, 2000)
2) Terjadi ketegangan pada otot-otot pundak, leher, perut, dan otot-otot ekskremitas
3) Terjadi perubahan irama pernapasan
4) Terjadi kontraksi otot setempat yaitu: pada dagu, sekitar mata dan rahang.
Selain itu, Amir (2000) menambahkan gejala-gejala fisik kecemasan sebagai berikut: raut muka dan dahi yang berkerut, gemetar, kaki terasa berat, badan terasa lesu, tubuh terasa kaku, jantung yang berdebar-debar keras, sering ingin buang air kecil, sering minum air dan berkeringat dingin.

b. Gejala psikis, ditandai dengan:
1) Gangguan pada perhatian dan konsentrasi
Perhatian atlet dapat terpecah karena munculnya pikiran-pikiran yang negatif mengenai pertandingan dan berpikir tentang hal-hal yang tidak berhubungan dengan pertandingan (Amir, 2000)
2) Terjadinya perubahan emosi
3) Menurunnya rasa percaya diri
4) Timbul obsesi
5) Menurunnya motivasi
6) Merasa cepat putus asa
7) Kehilangan kontrol
Berdasarkan uraian di atas, ditarik suatu simpulan bahwa gejala kecemasan bertanding dapat dikelompokkan menjadi gejala fisik dan gejala psikis. Gejala fisik dan gejala psikis ini digunakan lebih lanjut untuk mengungkap tingkat kecemasan bertanding.

5. Sumber-Sumber Kecemasan Bertanding
Hardy et al (1999) menyimpulkan sumber-sumber kecemasan bertanding atlet dari berbagai hasil penelitian, antara lain:

a. Kekurangsiapan dalam penampilan
Adanya ketakutan untuk bertanding menyebabkan atlet merasa kurang siap untuk menghadapi pertandingan, yang akhirnya menimbulkan kecemasan (Gunarsa, 1996).

b. Permasalahan interpersonal dengan tim dan pelatih
Hubungan interpersonal yang tidak baik antara pelatih dan atlet merupakan sumber kecemasan bagi atlet dalam menghadapi pertandingan. Pate et al (1993) menjelaskan bahwa permasalahan atlet dengan pelatih dapat berkembang dari adanya konflik antar pribadi dan konflik yang disebabkan karena kegagalan atlet dalam bertanding. Apabila konflik berkembang dan berlanjut, akan menjadikan atlet menyimpulkan bahwa apabila mereka membuat kesalahan yang fatal dalam pertandingan, maka mereka akan dipersalahkan oleh pelatih. Akhirnya, hal ini akan menyebabkan kecemasan pada atlet dan menurunnya penampilan. Selanjutnya, Pate et al (1993) mengungkapkan bahwa pelatih yang tidak mempercayai atlet dalam bertanding akan menimbulkan kecemasan baginya dalam menghadapi pertandingan tersebut.

c. Keterbatasan dana dan waktu latihan
Keterbatasan dana berhubungan dengan dana yang harus dikeluarkan oleh atlet untuk mengikuti suatu pertandingan tersebut. Waktu latihan yang singkat atau mendesak juga dapat menimbulkan kecemasan bagi atlet dalam menghadapi pertandingan.

d. Prosedur seleksi
Prosedur seleksi yang tidak jelas juga ikut mempengaruhi tingkat kecemasan seorang atlet dalam bertanding.

e. Kekurangan dukungan sosial
Kurangnya dukungan sosial yang diperoleh atlet, dapat menimbulkan kecemasan dalam menghadapi pertandingan. Dukungan sosial bisa diperoleh dari orang-orang terdekat, misalnya dari orang tua, teman satu tim atau pelatih. Harsono (dalam Gunarsa, 1986) menjelaskan bahwa apabila atlet memiliki hubungan personal dengan pelatih maka atlet akan mengharapkan kehadiran pelatih selama bertanding, karena dengan kehadiran pelatih seorang
atlet mendapat dukungan. Dukungan emosional dari pelatih dapat membuat atlet merasa mampu menghadapi dan mengatasi situasi-situasi penting. Menurut Gunarsa (1996) sumber-sumber kecemasan bertanding, selain yang telah disebutklan di atas adalah:

a. Tuntutan sosial
Tuntutan sosial berlebihan yang tidak dapat atau belum dapat dipenuhi oleh atlet yang bersangkutan dapat menimbulkan kecemasan bagi atlet. Tuntutan sosial ini bisa berasal dari pelatih. Jika pelatih menekan atau menuntut atletnya untuk mendapatkan tujuan yang tidak mungkin mereka capai, maka perasaan negatif akan selalu membayangi atlet sebelum pertandingan (Hardy, 1999). Pate at al (1993) menambahkan bahwa tekanan pelatih ini merupakan sumber utama kecemasan bagi atlet dalam menghadapi pertandingan, karena pelatih merupakan sumber utama dan pujian, serta yang akan mendorong dan mengisi kepercayaan diri atlet.

b. Standar prestasi individu yang terlalu tinggi dari kemampuan yang dimilikinya seperti misalnya pada atlet yang kecenderungannya perfeksonis.
Cox (2002) berpendapat bahwa kecenderungan perfeksionis yang dimiliki atlet dapat menimbulkan kecemasan bagi atlet tersebut dalam menghadapi pertandingan.

c. Pola berpikir dan persepsi negatif terhadap situasi yang ada dan terhadap diri sendiri. Persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi waktu menghadapi pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan maupun mendekati pertandingan bisa bermacam-macam. Apabila atlet mempersepsikan situasi pertandingan sebagai suatu ancaman, maka salah satu emosi yang muncul adalah kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak hal yang dapat menjadi sumber kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan. Sumbersumber kecemasan bertanding bisa berasal dari dalam diri atlet (internal) dan bisa berasal dari luar diri atlet (eksternal) atau keduanya dapat secara bersamaan menjadi sumber kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan.



6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Bertanding
Menurut Endler (dalam Cox, 2002) ada empat faktor yang dapat meningkatkan kecemasan dalam menghadapi pertandingan, antara lain:

a. Ketakutan akan kegagalan
Ketakutan akan kegagalan adalah ketakutan bila dikalahkan oleh lawan yang dianggap lemah sehingga merupakan suatu ancaman terhadap ego atlet.

b. Ketakutan akan cedera fisik
Ketakutan akan serangan lawan yang dapat menyebabkan cedera fisik merupakan ancaman yang serius bagi atlet.

c. Ketakutan akan penilaian sosial
Kecemasan muncul akibat ketakutan akan dinilai secara negatif oleh ribuan penonton yang merupakan ancaman terhadap harga diri atlet. Pate et al (1993) menjelaskan bahwa kecenderungannya masyarakat akan memberikan penilaian positif kepada atlet yang berhasil memenangkan pertandingan dan akan cenderung memberikan penilaian yang negatif terhadap atlet yang kalah. Pengakuan sekolah, hadiah, persetujuan teman dekat dan pemberitaan surat kabar secara intensif serta kesempatan untuk ikut serta di tingkat yang lebih tinggi dimungkinkan bagi atlet yang berhasil.

d. Situasi pertandingan yang ambigu
Ketika seorang atlet tidak mengetahui kapan memulai pertandingan bisa
menyebabkan atlet menjadi cemas.

e. Kekacauan terhadap latihan rutin
Kecemasan muncul apabila atlet diminta untuk mengubah cara atau teknik
tanpa latihan sebelum bertanding.






Menurut Hardy (1999) ada beberapa hal yang mempengaruhi respon kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan, antara lain:

a. Pengalaman
Kemampuan untuk mengendalikan kecemasan merupakan faktor yang sangat penting, yang harus dimiliki oleh atlet untuk menghasilkan suatu penampilan puncak. Kemampuan untuk mengendalikan kecemasan didapatkan dari pengalaman-pengalaman atlet dalam menghadapi pertandingan. Hardy melaporkan hasil penelitian Fenz dan Epstein mengenai pengaruh pengalaman terhadap respon kecemasan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa atlet yang sudah berpengalaman atau ahli memiliki kemampuan kontrol yang baik dalam mengendalikan gejala-gejala kecemasan dibandingkan dengan atlet pemula, sehingga atlet bisa mencapai penampilan puncak. Kemudian atlet yang sudah berpengalaman akan merasakan kecemasan hanya pada sebelum bertanding dibandingkan dengan atlet yang belum
berpengalaman.

b. Trait Anxiety
Pengaruh trait anxiety terhadap penampilan ditengahi oleh state anxiety atlet, dengan kata lain pengaruh trait anxiety terhadap penampilan hanya melalui perubahan dalam state anxiety. Atlet yang trait anxiety tinggi akan merespon situasi pertandingan dengan reaksi kecemasan (state anxiety) yang tinggi. Atlet yang memiliki trait anxiety yang tinggi akan mempersepsi situasi pertandingan sebagai suatu yang mengancam, sehingga atlet tersebut
menanggapinya dengan state anxiety yang lebih tinggi dibandingkan dengan atlet dengan trait anxiety yang rendah. Dengan demikan, atlet dengan trait anxiety rendah akan menemukan suatu state anxiety yang bersifat mendorong penampilannya (facilitative) sedangkan atlet dengan trait anxiety yang tinggi akan menemukan suatu state anxiety yang bersifat menurunkan penampilan (debilitative).

c. Strategi Manajemen Stres
Berikut merupakan model fungsi penilaian (appraisal), gugahan (arousal), aktivasi (activation), kecemasan (anxiety) dan penampilan (performance)
Situasional
demand Anxiety
Appraisal
Arousal Activation
Performance
Gambar 2
Model Fungsi Apraisal, Arousal, Activation, Anxiety and Performace

Berdasarkan model di atas, maka manajemen stres digunakan untuk membantu atlet untuk mengendalikan kecemasannya dalam menghadapi pertandingan, sehingga dengan strategi yang efektif dan tepat akan membantu atlet untuk menimbulkan suatu aktivasi yang sesuai dengan beban tugas yang dipikulnya. Akhirnya, atlet dapat tampil dengan optimal.
Selain faktor yang telah dijelaskan di atas, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap kecemasan bertanding adalah rasa percaya diri. Pate et al (1993) mengungkapkan bahwa rasa percaya diri merupakan faktor yang terpenting dalam menentukan apakah rasa takut menyebabkan kecemasan atau dapat menyebabkan seorang atlet menjadi berani dan bersemangat. Apabila atlet memiliki rasa percaya diri maka atlet akan terhindar dari kecemasan, sebaliknya apabila rasa percaya diri atlet rendah, maka atlet tersebut akan mengalami kecemasan.
Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kecemasan seorang atlet dalam menghadapi pertandingan adalah intimasi. Lee (1993) mengatakan bahwa intimasi antara atlet dengan pelatih dapat menurunkan kecemasan atlet, karena atlet dapat mengkomunikasikan ketakutan dan kecemasannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecemasan bertanding, yaitu rasa percaya diri, intimasi, pengalaman, trait anxiety dan strategi manajemen stres dalam mengendalikan dan menurunkan tingkat kecemasan bertanding.

B. Intimasi Pelatih-Atlet
1. Pengertian Intimasi Pelatih-Atlet
Secara harfiah intimasi dapat diartikan sebagai kedekatan atau keakraban dengan orang lain. Intimasi dalam pengertian yang lebih luas telah banyak dikemukan oleh para ahli. Shadily dan Echols (1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang kuat yang didasarkan oleh saling percaya dan kekeluargaan. Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain. Kemudian, Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
Intimasi menurut Levinger & Snoek (Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk hubungan yang berkembang dari suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara dua individu. Keduanya saling berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling mereka, tetapi lebih bersifat pribadi seperti berbagi pengalaman hidup, keyakinan-keyakinan, pilihan-pilihan, tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada tahap ini akan terbentuk perasaan atau keinginan untuk menyayangi, memperdulikan, dan merasa bertangung jawab terhadap hal-hal tertentu yang terjadi pada orang yang dekat dengannya.
Atwater (1983) mengemukakan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001). Selain itu dalam proses intimasi perlu untuk memasukkan unsur perasaan bersatu dengan orang lain. Kebutuhan untuk bersatu dengan orang lain merupakan pendorong yang sangat kuat bagi individu untuk membentuk suatu hubungan yang kuat, stabil, dekat dan terpelihara dengan baik (Papalia dkk, 2001). Kedekatan perasaan seperti ini dapat menimbulkan suatu hubungan yang erat dimana
hubungan ini sebagai lambang dari empati (Parrot dan Parrot, 1999). Berdasarkan beberapa pengertian intimasi di atas, dapat disimpulkan bahwa intimasi adalah suatu hubungan interpersonal yang berkembang dari hubungan timbal balik antara dua individu, yang terwujud melalui saling berbagi berbagi perasaan dan pikiran yang terdalam, saling membuka diri, serta saling menerima dan menghormati satu sama lain. Pengertian intimasi ini akan dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan suatu pengertian intimasi pelatih-atlet.
Pelatih adalah seorang yang profesional yang tugasnya membantu atlet dan tim dalam memperbaiki penampilan olahraga (Pate et al,1993). Seorang atlet tidak akan bisa sukses tanpa pelatih yang berpengalaman, sehingga penting untuk menciptakan suatu hubungan yang baik antara pelatih dengan masing-masing atletnya (Cogan, 2004). Kemudian, Cogan (2004) menambahkan bahwa idealnya hubungan antara pelatih dengan atlet disertai dengan saling menghormati, saling pengertian, saling mempercayai dan adanya percakapan yang bersifat terbuka dan bersifat dua arah antara pelatih dan atlet serta pengungkapan perasaan dan permasalahan pribadi. William (1994) menjelaskan bahwa keefektifan interaksi antara pelatih dengan atletnya didasarkan pada proses mutual sharing dan adanya saling pengertian. Mutual sharing melibatkan proses yang timbal balik dalam mengungkapkan pikiran, perasaan atau informasi yang bersifat pribadi. Selanjutnya, Yukelson (dalam William, 1994) menambahkan bahwa pengungkapan perasaan dan pikiran tersebut harus dapat dikomunikasikan secara terbuka dan jujur.
Menurut Santrock (2003) adanya pengungkapan diri dan pikiran-pikiran pribadi merupakan pengertian intimasi dalam hubungan pertemanan. Gunarsa (1996) menggambarkan kedekatan pelatih-atlet sebagai suatu hubungan persaudaraan yang yang harus ada jarak karena pelatih juga seorang pendidik atau guru. Jarak di sini maksudnya adalah bahwa kedekatan hubungan pelatihatlet sebatas untuk perkembangan atlet bukan berdasarkan adanya perasaan kasih sayang satu sama lain (Gunarsa, 1996).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intimasi pelatih-atlet adalah suatu bentuk hubungan interpersonal antara pelatih dengan atlet yang berkembang dari hubungan yang bersifat timbal balik dalam berbagi informasi, perasaan terdalam dan pengalaman, hanya sebatas untuk perkembangan dan kemajuan atlet, yang disertai dengan saling menghormati, saling mempercayai dan saling menghormati dalam hubungan tersebut.

2. Aspek-aspek Intimasi Pelatih-atlet
Hubungan intim dapat terjadi dalam hubungan romantis, pertemanan dan hubungan orang tua-anak serta hubungan interpersonal lainnya, dimana dalam hubungan tersebut terdapat interaksi yang intim. Interaksi intim meliputi dua aspek yaitu (Prager, 1995):

a. Pengalaman intim, yaitu persepsi mengenai pengertian dan perasaan positif (kehangatan dan ketertarikan).
b. Perilaku intim, meliputi keintiman verbal dan keintiman nonverbal.
Berdasarkan pengertian intimasi pelatih dengan atletnya, digambarkan bahwa intimasi yang terjadi antara pelatih dengan atletnya adalah intimasi dalam hubungan pertemanan. Pada hubungan pertemanan, keintiman verbal yang paling penting (Baron dan Byrne, 2005 ). Sprecer dan Duck (dalam Brehm et al, 2002) mejelaskan bahwa keintiman verbal meliputi komunikasi verbal yang penting dalam mengembangkan intimasi. Jourard (dalam Prager, 1995) memberikan batasan bahwa keintiman verbal melibatkan pengungkapan diri, kecocokan dan kepercayaan. Kemudian, Atwater (1983) yang memiliki pendapat yang sama dengan Jourard menambahkan satu aspek yang mendukung intimasi, yaitu penyesuaian diri. Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing aspek.

a. Pengungkapan diri
Pengungkapan diri (self disclosure) ini merupakan pusat intimasi. Suatu hubungan interpersonal dapat dikatakan suatu hubungan interpesonal yang intim apabila disertai dengan pengungkapan diri (self disclosure) (Atwater, 1983 ; Brehm et al, 2002). Kemudian, Jourard (dalam Calhoen dan Acocella, 1990) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri bersinonim dengan intimasi. Pengungkapan diri harus dilakukan dengan dua orang atau lebih yang secara sukarela saling berbagi informasi berupa pemikiran dan perasaan yang paling mendalam. Steinberg (1993) menjelaskan bahwa dengan pengungkapan diri kepada individu lain, individu tersebut dapat memahami dan mengerti apa yang diharapkan, dibutuhkan, disukai dan tidak disukai dari dirinya. Pengungkapan diri ini meliputi pengungkapan perasaan, persepsi, ketakutan dan keraguan atau ketidakyakinan dirinya kepada orang lain (Spurgin, 1989). Pada aspek pengungkapan diri terdapat aspek-aspek yang menunjang suatu
intimasi (Atwater, 1993 ; Brehm et al, 2002), yaitu:

1) Timbal balik
Pengungkapan diri dengan orang lain biasanya bersifat timbal balik (Brehm et al, 2002). Pengungkapan diri ini akan semakin meningkat saat tiap individu saling membuka diri dan saling meminta informasi tentang masingmasing pihak. Timbal balik, juga didukung oleh tanggapan (responsiveness) dari partner dan berharap orang lain (partner) meresponnya dengan memberi pengertian, perhatian serta mendukung sepenuhnya (Brehm et al, 2002) Hubungan timbal balik antara pelatih-atlet terjadi dalam pengungkapan diri atlet mengenai perasaan ketakutan, keraguan atau ketidakyakinan, persepsi kepada pelatih dengan harapan pelatih meresponnya dengan memberi pengertian, perhatian dan mendukung sepenuhnya.

2) Ketertarikan
Seseorang mau mengungkapkan dirinya kepada orang lain, berarti orang itu menyukai orang tersebut untuk berbagi informasi. Kemudian, Collins dan Miller (dalam Michener dan De Lameter, 1999) mengatakan bahwa seseorang akan lebih suka untuk membuka informasi yang bersifat pribadi kepada orang yang disukainya.


b. Kepercayaan
Keputusan untuk membuka diri kepada orang lain memiliki pengertian bahwa individu tersebut mempercayai orang lain. Prager (1995) mendefinisikan kepercayaan sebagai suatu sikap atau harapan seseorang terhadap orang lain dalam berinteraksi. Kemudian Deutsch (dalam Prager, 1995) menegaskan bahwa kepercayaan adalah keyakinan bahwa seseorang akan menemukan apa yang diinginkannya dari orang lain untuk meredam ketakutan yang sedang dialaminya.

c. Kecocokan pribadi
Sesuatu yang mendasar dalam mencari kecocokan antara pribadi melibatkan persamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Kecocokan pribadi diartikan sebagai kemampuan untuk menjalin suatu hubungan dengan melihat persamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Persamaan itu antara lain: persamaan latar belakang, budaya sosial dan pendidikan. Selain itu persamaan minat, temperamen, dan nilai-nilai juga penting meskipun persamaan ini cenderung akan berkurang konsistensinya dalam hubungan tersebut nantinya. Selain itu, kecocokan pribadi akan tercita apabila perbedaan-perbedaan diantara kedua individu berfungsi sebagai saling melengkapi (complementary), bukan sebagai sumber konflik.

d. Penyesuaian diri
Karakteristik yang paling dibutuhkan dalam suatu hubungan dengan orang lain adalah kedalaman emosi diantara keduanya. Penyesuaian diri terhadap orang lain merupakan suatu usaha untuk mengerti pendapat dan pandangan orang lain. Kemampuan untuk mengerti tersebut harus dikomunikasikan kepada orang lain, dengan melibatkan perasaan empati pada orang lain, kemauan untuk mendengar aktif, dan merespon tanpa disertai adanya prasangka. Empati adalah mencoba untuk mengerti seseorang dari sudut pandangnya dan kemudian berusaha untuk menempatkan diri pada diri orang tersebut.
Aspek-aspek intimasi yang diungkapkan oleh Atwater di atas akan digunakan lebih lanjut dalam penelitian ini, untuk melihat seberapa baiknya intimasi pelatih dengan atletnya. Aspek-aspek tersebut adalah: pengungkapan diri, kepercayaan,kecocokan pribadi, dan penyesuaian diri.



3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intimasi
Calhoen dan Acocella (1990) menjelaskan bahwa intimasi dengan orang lain dapat terjalin karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Lamanya hubungan (waktu)
Lamanya hubungan antara dua pribadi mempengaruhi intimasi diantara keduanya. Semakin lama hubungan yang telah terjalin maka intimasi akan semakin dapat dikembangkan.
b. Frekuensi pertemuan
Frekuensi pertemuan menunjukkan seberapa sering pertemuan interpersonal dilakukan, semakin sering individu bertemu maka akan semakin mempengaruhi intimasi yang terjalin.
c. Kesempatan berinteraksi
Kesempatan berinteraksi merupakan usaha meluangkan waktu untuk dapat berinteraksi secara informal dan santai dengan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi intimasi, yaitu: lamanya hubungan, frekuensi pertemuan, dan kesempatan berinteraksi.

C. Hubungan Antara Intimasi Pelatih - Atlet dengan Kecemasan Bertanding
Pelatih dan atlet merupakan dua insan yang berbeda, disatukan dalam dunia keolahragaan dalam mencapai tujuan dan target dalam permainan. Pelatih adalah seorang yang paling bertanggung jawab atas penampilan atletnya karena pelatih, selain memberikan teknik-teknik permainan juga harus mampu memotivasi, memperbaiki citra dan keyakinan diri, membentuk sikap atlet, serta membantu atlet dalam mengatasi tekanan mental, kekecewaan dan kecemasan. Semua pembinaan tersebut memiliki tujuan yaitu, agar atlet yang dibina pelatih tersebut mencapai penampilan puncak Proses pencapaian tujuan tersebut bukanlah hal yang gampang baik bagi atlet sendiri maupun pelatih karena perlu waktu dan proses latihan (belajar) dan pembinaan. Selama proses latihan dan pembinaan ini, pelatih merupakan orang yang paling sering berinteraksi dengan masing-masing atlet. Interaksi yang sering, merupakan awal terbentuknya suatu hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal antara pelatih dengan atlet menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya seorang pelatih dalam menjalankan tugas-tugasnya. Cox (2002) mengatakan bahwa hubungan pelatih dan atlet merupakan hal yang amat penting dan menentukan berhasil tidaknya pelatih meningkatkan prestasi atletnya. Davies (1989) menggambarkan bahwa pelatih yang sukses adalah pelatih yang mampu menciptakan suatu hubungan yang hangat, menyenangkan dan perasaan aman serta memberikan perhatian kepada atletnya.
Hubungan yang hangat dan menyenangkan akan tercipta apabila ada intimasi dalam hubungan tersebut. Atwater (1983) menjelaskan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang mengarah pada keterbukaan pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam. Dengan demikan, diperlukan adanya suatu intimasi pelatih-atlet dalam pembinaan atlet. Pembinaan atlet tidak hanya terbatas pada aspek fisik saja, tetapi pembinaan terhadap aspek psikologis juga merupakan hal yang penting. Kecemasan merupakan salah satu aspek psikologis yang mengganggu penampilan dan sering dihadapi oleh atlet bila akan menghadapi suatu pertandingan. Kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan ini diistilahkan dengan kecemasan bertanding.
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan bertanding seorang atlet. Salah satunya adalah intimasi dengan pelatih. Lee (1993) mengatakan bahwa intimasi pelatih dengan atlet dapat menurunkan kecemasan, karena atlet mendapat kesempatan untuk meceritakan ketakutan dan kecemasannya kepada pelatih.
Intimasi pelatih-atlet didefinisikan sebagai suatu hubungan timbal balik antara pelatih dengan atlet dalam berbagi informasi dan pengalaman. Intimasi pelatih dengan atlet juga menunjukkan adanya keterbukaan dalam pengungkapan diri (self disclosure), kepercayaan, kecocokan pribadi dan adanya suatu kemampuan untuk berempati dalam mendengarkan dan merespon ungkapan perasaan sesorang, sebagai usaha untuk penyesuaian diri.
Adanya self disclosure (pengungkapan diri) atlet dengan pelatih, memberikan perasaan nyaman dan ketenangan kepada atlet, karena dengan menceritakan semua hal yang menjadi kecemasan kepada pelatih, beban dan tekanan pertandingan akan berkurang. Jadi, self disclosure dengan pelatih merupakan suatu sarana untuk menyalurkan tekanan-tekanan yang dirasakan, perasaan gelisah serta ketakutannya dalam menghadapi pertandingan. Kepercayaan atlet terhadap pelatih merupakan suatu keyakinannya bahwa pelatih akan dapat membantunya untuk mengatasi ketakutan dan kecemasannya. Kepercayaan ini juga didukung oleh sikap yang ditunjukkan pelatih kepada atletnya. Pelatih yang terbuka, sabar dan perhatian kepada atlet akan menimbulkan ketertarikan bagi atlet untuk menceritakan permasalahannya kepada pelatih. Timbulnya kepercayaan kepada pelatih karena pelatih juga menunjukkan sikap penerimaan yang dapat menimbulkan rasa dihargai dan diperhatikan oleh
pelatihnya, sehingga dapat meningkatkan rasa perecaya diri atlet. Pate at al (1993) mengatakan bahwa atlet yang percaya kepada pelatihnya akan merasa nyaman dan percaya diri untuk bertanding untuk pelatihnya.
Pengungkapan diri (self disclosure) antara pelatih dan atlet juga memberikan kepada pelatih dan atlet untuk saling mengenal pribadi masingmasing. Pelatih yang mengenali pribadi masing-masing atletnya lebih mudah menerapkan gaya kepemimpinannya, sesuai dengan kepribadian masing-masing atlenya, sehingga atlet menyenangi dan meghargai pelatihnya. Dengan begitu akan terbentuk suatu hubungan saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung, sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis.
Kecocokan pribadi dalam intimasi pelatih atlet, melibatkan kemampuan untuk menemukan persamaan dan menjadikan perbedaan sebagai suatu hal yang saling melengkapi. Adanya penyesuaian diri terhadap orang lain berarti berusaha untuk mengerti pendapat dan pandangan orang lain dengan melibatkan perasaan empati. Adanya kecocokan pribadi dan penyesuaian diri dalam hubungan interpersonal pelatih-atlet juga akan membentuk suatu hubungan yang harmonis, jauh dari konflik serta menimbulkan perasaan kebersamaan. Kebersamaan akan menimbulkan kekuatan dan semangat dalam diri atlet untuk menghadapi kecemasan dan ketakutannya menghadapi pertandingan. Kekuatan dan semangat tersebut akan membantu atlet dalam mengendalikan kecemasannya.
Kesediaan pelatih dengan penuh empati untuk mendengarkan keluhan dan ungkapan perasaan serta memberikan respon merupakan dukungan sosial dan dorongan bagi atlet. Dukungan, dorongan serta nasehat-nasehat akan memberikan perasaan nyaman dan tenang kepada atlet. Akhirnya, atlet akan lebih percaya diri dan tenang untuk menghadapi pertandingan (Pate at al, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa adanya intimasi pelatih dengan atlet dapat membantu atlet dalam mengendalikan dan menurunkan kecemasannya dalam menghadapi pertandingan. Intimasi pelatihatlet memberikan kesempatan untuk mengungkapkan (self disclosure) ketakutan dan kecemasannya dalam menghadapi pertandingan, memberikan perasaan nyaman dan tenang dalam menghadapi pertandingan, membantu atlet dalam memperoleh dukungan sosial, menciptakan peran pelatih sebagai motivator dan fasilitator bagi atlet dan bukan sebagai tekanan pertandingan.




D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “ ada hubungan negatif antara intimasi pelatih-atlet dengan
kecemasan bertanding, dimana semakin baik intimasi pelatih dengan atletnya
maka tingkat kecemasan bertanding atlet akan semakin rendah.





























BAB III
METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang akan diperhitungkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Variabel Prediktor : Intimasi Pelatih-Atlet
2. Variabel Kriterium : Kecemasan Bertanding
B. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1. Intimasi Pelatih-Atlet
Intimasi pelatih-atlet adalah persepsi atlet mengenai kehangatan hubungan yang bersifat informal dengan pelatihnya, dalam berbagi pikiran, informasi, pengalaman dan perasaan terdalam, dalam batas-batas untuk perkembangan dan kemajuan atlet. Intimasi pelatih-atlet diukur dengan menggunakan aspek-aspek intimasi, yaitu: pengungkapan diri, kepercayaan, kecocokan pribadi dan penyesuaian diri yang merupakan teori dari Atwater (1983). Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini mengungkap baik atau tidaknya intimasi antara pelatih dengan atletnya, dalam persepsi atlet. Semakin tinggi skor yang didapat, maka intimasi atlet terhadap pelatih semakin baik, maka semakin dekat pula hubungan antara pelatih dengan atletnya.

2. Kecemasan Bertanding
Kecemasan bertanding adalah reaksi emosi negatif terhadap keadaan tegang dalam wujud perasaan gelisah dan khawatir mengenai hal yang tidak dikehendaki, belum tentu terjadi dalam pertandingan, ditunjukkan oleh atlet berupa gejala-gejala fisik dan psikis, sebelum atlet tersebut bertanding. Kecemasan muncul dari interpretasi negatif atlet dalam mempersepsi situasi pertandingan yang akan dihadapinya, meliputi persepsi mengenai hasil pertandingan dan seberapa penting pertandingan tersebut bagi atlet. Kecemasan bertanding diungkap dengan menggunakan Skala Kecemasan Bertanding yang disusun oleh peneliti berdasarkan gejala-gejala kecemasan pada atlet dalam menghadapi pertandingan, yang telah dikelompokkan menjadi dua gejala, yaitu: gejala fisik dan gejala psikis.

C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih dalam jangkauan sumber daya, maka dapat dilakukan studi populasi yaitu mempelajari seluruh subjek secara langsung (Azwar, 1998).
Subjek penelitian dalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Atlet pencak silat tanding IPSI Semarang. Atlet pencak silat tersebut dapat bergabung dalam pembinaan IPSI karena lulus seleksi yang diadakan oleh IPSI dan berprestasi dalam kejuaraan yang diadakan di tingkat Jawa Tengah.
2. Atlet berada dalam usia sekolah menengah (16-18 tahun).
3. Atlet memiliki kecenderungan yang rendah pada trait-A.
Trait-A dijadikan sebagai suatu kriteria subjek penelitian karena trait-A memiliki pengaruh terhadap respon atau reaksi kecemasan (state-A) atlet dalam menghadapi pertandingan (Hardy, 1999)
4. Atlet pernah menjalani training center

D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode skala psikologi dan penggunaan angket. Skala psikologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Skala Kecemasan Bertanding
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan bertanding seorang atlet. Tingkat kecemasan bertanding diungkap melalui gejala-gejala kecemasan yang dialami atlet dalam menghadapi pertandingan. gejala-gejala tersebut dikelompokkan ke dalam dua gejala yaitu: gejala fisik dan gejala psikis.

a. Gejala-gejala fisik merupakan gejala gangguan pada sistem kerja fisiologis tubuh dan terjadinya perubahan tingkah laku pada atlet, meliputi: gelisah, sering menggaruk-garuk kepala, sering jalan mondar-mandir, jantung berdebar keras, sering ingin buang air kecil, berkeringat dingin, gemetar, badan terasa lesu, perubahan irama pernapasan dan otot-otot terasa tegang.

b. Gejala-gejala psikis, antara lain: terjadinya gangguan perhatian dan konsentrasi, perubahan emosi, menurunnya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan cepat merasa putus asa. Skala Kecemasan Bertanding ini terdiri dari 56 aitem dengan perbandingan proporsional bobot pada dua gejala dalam skala ini adalah sama. Azwar (2002) menyatakan bahwa apabila tidak diperoleh alasan untuk menganggap adanya sebagian aspek yang lebih signifikan dari aspek lainnya, maka semua aspek lebih baik diberi bobot yang sama. Susunan dan jumlah aitem skala dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel. 1
Blue Print Skala Kecemasan Bertanding

2. Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini digunakan untuk mengungkap baik atau tidaknya intimasi pelatih dengan atlet. Skala ini mengandung empat aspek yang akan diungkap berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan oleh Atwater (1983). Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini mengungkap :

a. Pengungkapan diri
Pengungkapan diri yaitu suatu kesanggupan untuk membuka diri dengan orang lain dalam mengungkapkan perasaan, persepsi dan ketakutan.
Pengungkapan diri ditunjang oleh adanya:

Aitem
No. Gejala
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1. Fisik 23 5 28 50%
2. Psikis 20 8 28 50%
Total 43 13 56 100%





1) Timbal balik
Pengungkapan diri ini akan semakin meningkat saat tiap individu saling membuka diri dan saling meminta informasi tentang masing-masing pihak. Timbal balik juga didukung oleh tanggapan (responsiveness) dari orang lain misal dengan memberi pengertian, perhatian dan dukungan sepenuhnya.
2) Ketertarikan
Orang mau mengungkapkan perasaan atau berbagi pengalaman dan informasi karena adanya ketertarikannya kepada orang lain.
b. Kepercayaan
Kemampuan untuk menumbuhkan keyakinan kepada orang lain mengenai kejujuran, kebaikan serta keterbukaan yang diberikan oleh individu lain kepada dirinya, dan sebaliknya.
c. Kecocokan pribadi
Kemampuan untuk menjalin suatu hubungan dengan melihat persamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Persamaan itu antara lain: persamaan latar belakang, budaya sosial dan pendidikan, minat, temperamen, dan nilai-nilai. Kecocokan pribadi juga diartikan sebagai keinginan untuk menjadikan perbedaan sebagai pelengkap, bukan sebagai sumber konflik.
d. Penyesuaian diri
Penyesuaian diri terhadap orang lain merupakan suatu kemampuan untuk mengerti pendapat dan pandangan orang lain. Kemampuan untuk mengerti tersebut harus dikomunikasikan kepada orang lain, dengan melibatkan perasaan empati pada orang lain, kemauan untuk mendengar aktif, dan merespon tanpa disertai adanya prasangka. Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini terdiri dari 50 aitem dengan perbandingan proporsional bobot pada empak aspek dalam skala ini tidak sama. Aspek pengungkapan diri (self disclosure) memiliki bobot yang lebih banyak dibandingkan dengan tiga aspek lainnya. Pemberian bobot lebih pada aspek ini berdasarkan pada pendapatnya Atwater (1983), yang mengatakan bahwa self disclosure merupakan pusat intimasi serta adanya dua aspek yang menunjang self disclosure, yaitu timbal balik dan ketertarikan. Susunan dan jumlah aitem skala dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel. 2
Blue Print Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala Kecemasan Bertanding dan Skala Intimasi Pelatih-Atlet disiusun
atas dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan favourable dan unfavourable.
Penyusunan kedua skala menggunakan skala Likert. Subjek diminta untuk
Aitem
No. Dimensi
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1. Pengungkapan diri 10 10 20 40%
2. Kepercayaan 5 5 10 20%
3. Kecocokan pribadi 5 5 10 20%
4. Penyesuaian diri 5 5 10 20%
Total 25 25 50 100%
menyatakan sejauhmana pernyataan-pernyataan dalam skala sesuai atau tidak
sesuai dengan keadaan dirinya.
Cara penyekoran skala ini disesuaikan dengan jenis pernyataan. Setiap pernyataan memiliki lima alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat Menentukan (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pada pernyataan favourable, jawaban Sangat Sesuai bernilai 4, Sesuai bernilai 3, Tidak dapat Menentukan bernilai 2, Tidak Sesuai bernilai 1 dan Sangat Tidak Sesuai bernilai 0. Sebaliknya, pada pernyataan unfavourable, jawaban Sangat Sesuai bernilai 0, Tidak Sesuai bernilai 1, Tidak dapat Menentukan bernilai 2, Tidak Sesuai bernilai 3 dan Sangat Tidak Sesuai bernilai 4. Angket yang digunakan dalam penelitian adalah Angket Kecemasan Bertanding (State-A dan Trait-A). Angket ini bertujuan untuk mendapatkan subjek yang homogen dari kecenderungan cemas (trait-A). Penyusunan aitem pada angket ini berdasarkan pada dua puluh kondisi yang dialami atlet pada situasi yang menimbulkan kecemasan dari Cox (2002). Pada angket ini terdapat dua kolom, yaitu kolom (1) akan menghadapi pertandingan dan kolom (2) situasi lain. Setiap kolom berisi dua option “Ya” dan “Tidak”. Atlet diminta untuk merespon dengan memberikan tanda ceklist (_) pada salah satu option di setiap kolom. Penyekoran diberikan dengan Ya bernilai 1 dan Tidak bernilai 0. Format angket secara lebih jelas, dapat dilihat pada lampiran G.






E. Validitas, Daya Beda Aitem dan Reliabilitas
Pada kedua skala ini akan dilakukan uji coba sebelum digunakan dalam penelitian. Uji coba skala ini dilakukan untuk mengukur kualitas aitem pada kedua skala, yang dilakukan dengan menggunakan uji korelasi aitem total (uji daya beda aitem), reliabilitas dan validitas.

1. Validitas
Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Pengujian validitas dapat dilakukan dengan validitas isi, yakni validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes berdasarkan analisis rasional atau profesional judgment. Pengujian validitas berdasarkan profesional judgment maksudnya adalah menemukan jawaban sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur (Azwar, 1997)

2. Daya Beda Aitem
Pengujian daya beda aitem dilakukan dengan uji korelasi aitem total. Uji korelasi aitem total adalah uji konsistensi antara aitem dengan tes secara keseluruhan. Korelasi aitem total dilakukan untuk memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya sesuai dengan fungsi ukur yang dikehendaki. Daya beda aitem menunjukkan sejauh mana aitem mampu membedakan antara kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem dengan skor totalnya (Azwar, 2002). Koefisien korelasi antara aitem dengan skor totalnya haruslah signifikan dan untuk memperoleh skor totalnya tersebut digunakan teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson (Azwar, 1997), dengan rumus


sebagai berikut:
rix=
Keterangan : i = Skor responden pada pernyataan tertentu
X = Skor responden pada setiap skala
n = Banyaknya responden keseluruhan
Semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total berarti
semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh,
yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah
mendekati nol berarti fungsi sitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur tes dan
daya bedanya tidak baik. Bila korelasi berharga negatif berarti terdapat cacat
serius pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 1997).

3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya atau diandalkan (Azwar, 1997). Selanjutnya, Azwar (2002) menjelaskan bahwa suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat ukur tersebut dalam beberapa kali pengukuran terhadap subjek yang sama mampu memberikan hasil yang relatif sama, dengan catatan aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah.
_ _ _ _
_ _ _
− − )
n
( X) )
)( X )
n
( i)
( i
n
( i) ( X)
iX -
2
2
2
2
Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan konsistensi internal dengan teknik komputasi Alpha Cronbach (_ ).
Alasan penggunaan Alpha Cronbach ini adalah hasilnya lebih cermat dan dapat
mendekati hasil sebenarnya (Azwar, 2002). Dalam formula Alpha Cronbach data
dibelah sebanyak jumlah aitemnya, dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan : _ = Koefisien reliabilitas Alpha
k = Banyaknya belahan
s2
j
= Varians skor belahan
s2
x = Varians skor total

F. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik karena metode ini merupakan metode ilmiah untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan serta menganalisis data penelitian yang berwujud angka dan metode statistik dapat memberikan hasil yang objektif. Hal ini merupakan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencari kesimpulan yang benar (Hadi, 1993). Seluruh komputasi dalam penelitian dilakukan dengan bantuan program komputer Statistical Packages for Social Science (SPSS) versi 12.0.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Regresi
Sederhana.
_ _
_


_
_
= _
x
j
s
s
k
k
2
2
1
1
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan orientasi kancah penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui lokasi dan situasi penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan survei awal ke Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Semarang sebagai langkah awal dalam penelitian ini. IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) merupakan suatu organisasi pencak silat yang mengayomi perguruan-perguruan silat di seluruh nusantara. Awal berdirinya, pada tanggal 18 Mei 1940 dinamakan dengan Ikatan Pencak Seluruh Indonesia. Akhirnya setelah 25 tahun berdiri, Ikatan Pencak Seluruh Indonesia berganti menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia, sampai sekarang. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk mengembangkan pencak silat, tidak hanya sebagai ekspresi budaya bangsa, tetapi menjadi suatu olahraga yang dapat dipertandingkan. Adanya tantangan bela diri dari luar, seperti karate dan judo memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olahraga. Oleh karena itu, dibentuk satu komisi teknis khusus untuk merencanakan sebuah paket pencak silat olahraga untuk dipertandingkan. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya IPSI berhasil memasuki pencak silat sebagai cabang olahraga prestasi pada PON VIII, yang diselenggarakan pada tanggal 4-15 Agustus 1973 di Jakarta. Berkat kerja keras pengurus IPSI serta adanya dukungan dari pemerintah, IPSI cepat menyebar luas di dalam maupun ke luar negeri. Pada tahun 1970-an
IPSI mendirikan cabang di tiap wilayah. Tujuannya adalah untuk mengorganisir even-even pencak silat olahraga dan seni pada tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Dengan demikian, IPSI sebagai organisasi yang berskala nasional memiliki program untuk mengaktifkan semua seluruh bagian organisasi dari pusat sampai daerah. Program pembinaan berjenjang ini memiliki tujuan untuk dapat menjaring atlet-atlet daerah yang berpotensi dan berprestasi baik Daerah Jawa Tengah juga memiliki organisasi pencak silat (IPSI Jateng).
IPSI Jawa Tengah sendiri, juga memiliki program pembinaan atlet yang berjenjang. Program ini bertujuan agar pembinaan atlet lebih terorganisasi dan dapat mewakili seluruh perguruan yang ada di daerah Jawa Tengah. Selain itu, program pembinaan di daerah ini dilakukan untuk menemukan atlet-atlet daerah yang unggul, sehingga mampu berlaga di tingkat propinsi dan tingkat nasional. Oleh karena itu, dalam menjalankan program tersebut IPSI Jateng memiliki beberapa IPSI cabang. Salah satu cabangnya terdapat di daerah Semarang (IPSI Semarang). IPSI Semarang merupakan organisasi silat yang mengayomi beberapa aliran silat yang ada di daerah Semarang, di antaranya Naga Hitam, SH Teratai, Tapak Suci, Perisai Diri, Merpati Putih, Persatuan Hati dan BDI. Organisasi ini berwenang dalam menjaring, membina dan mencetak atlet-atlet daerah Semarang yang berpotensi dan berprestasi baik. Penjaringan dan pembinaan atlet ini dimaksudkan untuk mendapatkan bibit atlet yang unggul di daerah Semarang. Atlet-atlet yang terpilih diharapkan mampu berlaga dan mengukir prestasi pada kejuaraan tingkat Jawa Tengah dan nasional.
Pada saat ini, IPSI Semarang diketuai oleh Totok Iswidaryanto. Terkait dengan pembinaan prestasi olahraga pencak silat, Ketua Umum bertugas untuk merumuskan kebijakan umum di bidang pembinaan dan pengembangan pencak silat, serta mengkoordinasi penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan kegiatan olahraga prestasi pencak silat, yang pelaksanaannya dilakukan oleh anggota. Ketua Umum bertanggung jawab pada KONI kota dalam melaksanakan semua tugas-tugasnya.
Ketua umum juga dibantu oleh tiga orang wakil ketua yaitu Wakil Ketua Bidang Organisasi dipegang oleh C. Dayat, Bidang Dana/Prasarana oleh Pudjiono dan Bidang Litbang oleh Endro Pudji; dua orang sekretaris, yaitu Sekretaris Umum oleh Sigid widiyanto dan sekretaris dua oleh Ari Nuryant; dua orang bendahara yaitu Bendahara I dipegang oleh Suwanto dan bendahara dua oleh Agus. Kemudian, dalam tubuh IPSI Semarang juga terdapat biro atau lembaga yang langsung berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga pencak silat Semarang. Biro atau lembaga tersebut antara lain Lembaga Pembinaan Prestasi, Lembanga Pembina Seni Budaya Pencak Silat, Biro Wasit- Juri, dan Biro Pelatih. Bidang Litbang (Penelitian dan Pengembangan) bertugas mengkoordinasi dan menyusun rancangan program kerja IPSI dalam bidang penelitian dan pengembangan serta mengkoordinasi penyusunan laporan bidang penelitian pengembangan secara periodik. Selanjutnya, Bidang pembinaan prestasi bertugas untuk mengkoordinasi penyusunan rancangan program kerja IPSI dalam bidang pembinaan prestasi, mengkoordinasi pembinaan dan pengawasan setiap kegiatan atau event dalam rangka peningkatan prestasi dan memberikan pengarahan di bidang pembinaan prestasi pada setiap event yang dilaksanakan. Semua biro yang berada dalam tubuh IPSI Semarang bekerjasama dalam melakukan pembinaan prestasi atlet.
Sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, bidang pembinaan prestasi, selain menyusun program untuk pembinaan potensi atlet juga menyusun program pembinaan dan peningkatan potensi pelatih dalam melakukan pembinaan terhadap atlet. Salah satu programnya yang telah dijalankan adalah memberikan pelatihanpelatihan kepada pelatih pencak silat. Pelatihan tersebut memberikan pengetahuan kepada pelatih seputar perkembangan fisik dan psikologis atlet, pengelolaan prestasi atlet serta program peningkatan keakraban pelatih-atlet. Salah satu program yang telah dijalankan dalam rangka meningkatkan keakraban pelatihatlet adalah dengan melaksanakan rekreasi keluar minimal sekali dalam seminggu.
Perjalanan prestasi atlet IPSI Semarang sempat mengalami kemunduran pada tahun-tahun sebelumnya. Kemunduran ini disebabkan karena kevakuman dalam kepengurusan dan pembinaan pada IPSI Semarang sendiri. Pada tahuntahun tersebut juara umum di beberapa kejuaraan lebih dikuasai oleh atlet dari IPSI cabang daerah lain, yaitu IPSI Solo. Akan tetapi, semenjak lima tahun terakhir ini IPSI Semarang sudah mulai bangkit kembali. Kebangkitan itu dapat dilihat dari prestasi di beberapa event. Pada Kejurnas Remaja 2000, Invitasi Pencak Silat Jawa Bali 2001 dan Invitasi Pencak Silat se-Jawa Bali tahun 2001, berhasil meraih medali emas. Atlet yang bergabung dalam IPSI Semarang adalah atlet-atlet terpilih dan berprestasi baik pada kejuaraan tingkat Jawa Tengah. Atlet tersebut diseleksi melalui berbagai pertandingan antar perguruan se-Semarang, yang diadakan oleh para pengelola dan pembina IPSI Semarang. Pertandingan-pertandingan tersebut dimaksudkan agar para pembina dan pengelola dapat menjaring atlet yang berbakat dan berpotensi baik untuk dapat dibina di bawah binaan pengurus IPSI Semarang.
Atlet yang telah terpilih ini, juga memiliki kebebasan untuk mengikuti pertandingan yang diadakan oleh perguruan mereka masing-masing, baik di tingkat Jawa Tengah maupun nasional. Akan tetapi, apabila ada POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah) dan PORDA (Pekan Olahraga daerah) dan pertandingan-pertandingan yang mewakili IPSI Semarang atau Kejuaran Daerah (KEJURDA), tidak semua atlet yang akan diturunkan. Atlet yang akan diturunkan adalah atlet yang telah lulus seleksi. Penyeleksian dilakukan dengan mengadakan beberapa kali pertandingan. Atlet yang meraih juara satu dan juara dua pada masing-masing nomor yang akan dipertandingkan, adalah atlet yang diturunkan untuk berlaga mewakili daerah Semarang.
Atlet yang diturunkan ini, akan menjalani training center. Training center ini biasanya dilaksanakan tiga bulan sebelum pertandingan diselenggarakan. Pada training center atlet akan dilatih oleh tim pelatih yang terdiri dari tiga orang pelatih. Pelatih ini merupakan pelatih yang telah diseleksi oleh biro pelatih. Pelatih yang telah terpilih bertugas untuk melaksanakan program-program, yang telah disusun oleh bidang pembinaan prestasi atlet untuk periode tersebut. Tim ini terdiri dari tiga orang pelatih yaitu pelatih teknik, pelatih fisik dan pelatih strategi menyerang dan bertahan. Atlet yang telah terpilih akan dilatih dengan jurus-jurus baku dari IPSI dan harus bisa menyesuaikan dengan jurus-jurus khusus, yang didapatkan di perguruan mereka masing-masing. Jurus baku ini merupakan jurus standar yang digunakan senbagai standar peniliaian dalam pertandingan. Selama menjalani training center, atlet harus menerapkan disiplin yang telah ditetapkan pelatih dan pembina. Atlet yang telah terpilih sebagai tim yang diturunkan untuk mewakili IPSI Semarang harus mengikuti latihan secara rutin setiap hari. Apabila selama periode latihan, tidak datang atau tidak hadir dalam latihan sebanyak tiga kali, tanpa alasan yang jelas maka pelatih bertugas memberikan laporan kepada pembina. Kemudian pembina memberikan surat peringatan pertama kepada atlet tersebut. Apabila atlet tidak memberikan respon yang baik terhadap surat tersebut, maka diberi surat peringatan yang kedua.
Setelah diberi surat peringatan yang kedua dan tidak ada respon yang baik dari
atlet, maka atlet tersebut akan dikeluarkan dari tim. Setelah kejuaraan berakhir, atlet-atlet ini diberi kebebasan untuk bergabung dengan perguruan mereka masing-masing. Mereka kembali dilatih dan dibina oleh perguruan mereka masing-masing. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana untuk pembinaan atlet-atlet tersebut. IPSI Semarang sendiri memiliki padepokan tetapi sampai sekarang padepokan tersebut tidak terurus, akibat dari kurangnya dana tersebut.
Di luar training center, atlet ini di bawah binaan pelatih Sigid, yang sekaligus juga merangkap sebagai Sekretaris Umum IPSI Semarang. Pelatih dibantu oleh dua orang asistennya dalam memberikan latihan. Latihan dilakukan secara rutin, yaitu dua kali seminggu pada hari Senin dan Kamis. Selain hari ini, atlet tersebut latihan di perguruan mereka masing-masing. Pada hari Senin dan Kamis, mereka latihan di Kediaman pelatihnya, yang sekaligus merupakan sekretariat IPSI Semarang. Latihan dilaksanakan pada malam hari selama dua jam, dimulai pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB. Latihan terbagi menjadi tiga yaitu latihan fisik, latihan teknik dan latihan tarung. Urutan latihannya dalam setiap kali latihan adalah latihan fisik dilakukan selama setengah jam, latihan teknik setengah jam dan latihan tarung juga setengah jam. Setengah jam yang tersisa dijadikan sebagai momen untuk keakraban antara pelatih dengan atlet.
Momen keakraban ini merupakan salah satu cara pendekatan pelatih dengan setiap atletnya, yang digunakan sebagai ajang diskusi antara pelatih dan atlet, baik pada latihan biasanya maupun pada waktu training center. Pada training center, terkadang juga ada pengurus yang datang mengunjungi dan melihat latihan dan persiapan atlet menghadapi pertandingan. Pada momen ini mereka lebih banyak mendiskusikan masalah latihan, teknik dan strategi bertanding serta kelemahan dan kekurangan mereka dalam bertanding. Mereka
duduk berkeliling dan pelatih berada di tengah-tengah mereka. Waktu setengah jam terakhir ini, bagi pelatih juga dimanfaatkan sebagai ajang saling mengenal masing-masing atletnya.
Pemilihan tempat penelitian didasarkan pada pertimbangan :
1. IPSI Semarang merupakan organisasi silat daerah Semarang yang memiliki tujuan untuk menfasilitasi dan melakukan pembinaan terhadap atlet daerah Semarang menjadi atlet nasional.
2. IPSI Semarang memiliki atlet yang cukup banyak dan atlet yang tergabung didalamnya mempunyai frekuensi bertanding keluar cukup besar.
3. Atlet yang tergabung adalah atlet yang berpotensi dan berprestasi baik, yang telah lulus seleksi dan berprestasi di tingkat Jawa Tengah.
4. Penelitian mengenai hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding belum pernah dilakukan.
5. Adanya ijin untuk melakukan penelitian dari pihak IPSI Semarang.

2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan. Persiapan penelitian ini meliputi: pengajuan ijin penelitian kepada pihak Pengurus Cabang IPSI Semarang dan penyusunan skala yang akan digunakan dalam penelitian. Skala disusun untuk mengukur variabel kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet. Setelah kedua skala tersebut disusun, dilakukan uji coba skala, analisis daya beda aitem, dan menguji reabilitas skala tersebut serta menyusun kembali skala pasca uji coba. Skala hasil uji coba ini akan digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kepada Pengurus Cabang IPSI Semarang pada tanggal l8 September 2006 dengan nomor 1148/J07.1.1.16/AK/2006. Setelah ijin disetujui, maka peneliti dan pihak IPSI Semarang bersamasama menentukan jadual uji coba skala dan jadual penelitian. Jarak waktu pengajuan surat ijin dengan dilakukan uji coba cukup lama. Hal ini disebabkan karena sulitnya menemukan waktu untuk dilakukannya uji coba dan kesulitan dalam mengumpulkan atlet. Kesulitan tersebut disebabkan karena adanya beberapa pertandingan yang harus diikuti oleh atlet.
Setelah melalui proses mufakat yang panjang dengan pelatih, akhirnya jadual uji coba skala ditetapkan pada hari Selasa tanggal 3 Oktober 2006. Uji coba dilaksanakan pada sore hari, dimulai pada pukul 16.30 WIB sampai pukul 17.15 WIB di SMU 15 Semarang. SMU 15 Semarang dijadikan sebagai tempat yang dipilih untuk melaksanakan penelitian, karena merupakan tempat yang dirasa strategis oleh peneliti untuk melaksanakan penelitian. Selain itu, pelatih juga menyarankan dan mengijinkan untuk melakukan penelitian di SMU 15, karena pelatihnya sendiri juga merupakan pengajar olahraga di SMU tersebut.
Semua atlet diikutkan pada uji coba kedua skala ini. Informasi mengenai jumlah dan dalam mengumpulkan atlet, peneliti minta bantuan kepada pelatih. Atlet tersebut dikumpulkan di SMU 15 Semarang. Atlet yang diikutkan dalam penelitian ini sebanyak 46 orang. Pengambilan data dilakukan secara klasikal.
Pada uji coba kedua skala ini, peneliti dibantu oleh asisten pelatih. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala kecemasan bertanding dan skala intimasi pelatih-atlet. Kedua skala ini merupakan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian, sebagai berikut:

a. Skala Kecemasan Bertanding
Skala ini disusun untuk mengukur tingkat kecemasan bertanding atlet, yang disusun berdasarkan pada model skala likert. Penyusunan aitem-aitem dalam skala ini berdasarkan pada gejala-gejala kecemasan bertanding. Gejala-gejala tersebut dibagi ke dalam dua gejala, yaitu gejala fisik dan gejala psikis. Skala ini terdiri dari 56 aitem pernyataan yang mewakili gejala kecemasan bertanding, yaitu: gejala fisik dan gejala psikis. Subjek diminta untuk merespon salah satu pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaannya. Pilihan jawaban pada skala kecemasan bertanding ini adalah SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), N (tidak dapat menetukan), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai bergerak dari nol sampai empat. Semakin tinggi skor maka semakin tinggi tingkat kecemasan bertanding atlet tersebut. Komposisi dan sebaran aitem untuk masing-masing gejala dapat dilihat
pada tabel-tabel berikut:

Tabel. 3
Distribusi Aitem Skala Kecemasan Bertanding
Aitem
No. Gejala
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1. Fisik
1, 2, 5, 9, 10, 14, 17,
18, 22, 25, 26, 30, 33,
34, 37, 41, 42, 45, 46,
49, 50, 53, 54
6,13, 21, 29,
38
28 50%
2. Psikis
3, 4, 8, 11, 12, 15, 19,
20, 27, 28, 31, 35, 36,
39, 40, 43, 44, 51, 52,
56
7, 16, 23, 24,
32, 47, 48, 55
28 50%
Total 28 28 56 100%

b. Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek intimasi yang mengacu pada keintiman verbal, meliputi pengungkapan diri, kepercayaan, kecocokan pribadi dan penyesuaian diri. Penyusunan skala ini berdasarkan pada skala likert dengan lima pilihan jawaban, yaitu: SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), N (tidak dapat menentukan), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai bergerak dari nol sampai empat. Semakin tinggi skor maka semakin baik intimasi pelatih dengan atlet.
Komposisi dan sebaran aitem untuk masing-masing gejala dapat dilihat
pada tabel-tabel berikut:

Tabel. 4
Distribusi Aitem Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Uji coba dilakukan untuk mengetahui indeks daya beda aitem masingmasing
skala dan keterpercayaan alat ukur. Setelah kedua skala diujicobakan,
maka dapat ditentukan aitem yang valid dan yang gugur dengan menggunakan
Aitem
No. Dimensi
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1. Pengungkapan diri
1, 2, 11, 12,
21, 23, 31, 33,
41, 42
6, 7, 16, 18,
26, 28, 36, 38,
46, 47
20 40%
2. Kepercayaan
3, 13, 22, 32,
43,
8, 17, 27, 37,
48
10 20%
3. Kecocokan pribadi
4, 14, 24, 34,
44,
9, 19, 29, 39,
49
10 20%
4. Penyesuaian diri
5, 15, 25, 35,
45
10, 20, 30, 40,
50
10 20%
Total 25 25 50 100%
bantuan program komputer SPSS versi 12.0. Berikut penghitungan daya beda
aitem dan reliabilitas kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Kecemasan Bertanding pada Uji Coba
Batas daya beda yang digunakan pada skala kecemasan bertanding ini berdasarkan kesepakatan umum oleh para ahli, yaitu O 0,3. Menurut Azwar (2002) aitem yang mencapai koefisien korelasi minimum 0,3 dipandang mempunyai daya beda yang memuaskan. Dengan demikian, batasan daya beda aitem yang digunakan pada skala kecemasan bertanding ini adalah O 0,3. Skala kecemasan bertanding terdiri dari 56 aitem. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan tersebut, didapatkan indeks daya beda skala ini berkisar antara -0,25 sampai dengan 0,767 dengan reliabilitasnya sebesar 0,951. Keterangan indeks daya beda dan reliabilitas skala kecemasan bertanding dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas
Skala Kecemasan Bertanding
Skala
Rix
Min
Rix
Max
Koefisien reliabilitas
Kecemasan Bertanding -0,25 0,767 0,951
Setelah dianalisis, dilakukan penyeleksian aitem. Berdasarkan hasil seleksi
terhadap aitem-aitem pada skala kecemasan bertanding ini, didapatkan 47 aitem
yang valid dan 9 aitem gugur. Aitem-aitem tersebut gugur karena memiliki
koefisien korelasi daya beda rendah, yaitu di bawah 0,3 (rix < 0,3). Selengkapnya,
aitem yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur
Skala Kecemasan Bertanding
Nomor Gejala Aitem Jumlah
Valid Gugur Valid Gugur
Total
Fisik 2, 5, 6, 9, 13,
14, 17, 18, 21,
22, 25, 26, 34,
38, 41, 42, 45,
46, 50, 53, 54
1, 10, 29, 30,
33, 37, 49,
21 7 28
Psikis 3, 4, 7, 8, 11,
12, 15, 16, 19,
20, 23, 24, 27,
28, 31, 32, 35,
36, 39, 40, 44,
47, 48, 51, 55,
56
43, 52 26 2 28
Total 47 9 56
Menurut Azwar (2002) suatu alat ukur dapat dinyatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila koefisien reliabilitas alat ukur tersebut semakin mendekati angka 1,00. Perhitungan reliabilitas alat ukur menunjukkan koefisien korelasi 0,951. Dengan demikian, Skala Kecemasan Bertanding handal, sehingga aitem-aitem pada alat ukur ini dapat digunakan untuk penelitian dan disusun kembali seperti pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Distribusi Aitem Valid Skala Kecemasan Bertanding
No. Gejala Nomor Aitem
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1 Fisik 2, (4) 5 (3) , 9 (8),
14 (12), 17 (15),
18 (16), 22 (20),
25 (23), 26 (24),
34 (29), 41 (35),
42 (36), 45 (38),
46 (39), 50 (42),
53 (44), 54 (45)
6 (5), 13 (11),
21 (19), 38 (32),
21 44,
68%
2 Psikis 3 (1), 4 (2), 8 (7),
11 (9), 12 (10),
15 (13), 19 (17),
20 (18), 27 (25),
28 (26), 31 (27),
35 (30), 36 (31),
39 (33), 40 (34),
44 (37), 51 (43),
56 (47)
7 (6), 16 (14),
23 (21), 24 (22),
32 (28), 47 (40),
48 (41), 55 (46)
26 55,
32%
Total 35 12 47 100%
Ket : Tanda (...) dan ditebalkan adalah nomor baru untuk aitem yang valid
b. Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Intimasi Pelatih - Atlet pada Uji
Coba
Skala intimasi pelatih–atlet terdiri dari 50 aitem. Skala ini memiliki indeks
daya berkisar antara -0,15 sampai dengan 0,754. Penghitungan terhadap
reliabilitas, didapatkan koefisien reliabilitasnya adalah 0,954. Ringkasannya,
dapat dilihat pada tabel 8 berikut.
Tabel 8. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas
Skala Intimasi Pelatih - Atlet
Skala
Rix
Min
Rix
Max
Koefisien reliabilitas
Intimasi Pelatih – Atlet -0,15 0,754 0,954
Setelah keseluruhan aitem dianalisis, selanjutnya akan dilakukan seleksi
terhadap aitem-aitem tersebut. Batas daya beda yang digunakan pada skala
intimasi pelatih – atlet ini adalah O 0,3 (rix O 0,3). Aitem yang memiliki koefisien
korelasi di bawah 0,3 dinyatakan sebagai aitem yang tidak valid. Dengan
demikian, dari hasil analisis terhadap aitem-aitem, didapatkan 42 aitem valid dan
8 aitem gugur. Lebih jelasnya, aitem valid dan gugur dapat dilihatnya pada tabel 9
berikut.
Tabel 9. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur
Skala Intimasi Pelatih - Atlet
Aitem Jumlah
Dimensi
Valid Gugur Valid Gugur
Total
Pengungkapan diri
1, 6, 7, 11, 12,
16, 18, 21, 23,
26, 28, 31, 33,
38, 41, 42,
2, 36, 46, 47
16 4 20
Kepercayaan
3, 8, 13, 17,
22, 27, 32, 37,
43, 48
- 10 - 10
Kecocokan pribadi
4, 9, 14, 24,
29, 34, 39, 44,
49
19 9 1 10
Penyesuaian diri
5, 10, 15, 30,
35, 45, 50
20, 25, 40
7 3 10
Total
42 8 50
Berdasarkan penghitungan reliabilitas alat ukur ini, didapatkan koefisien
korelasinya sebesar 0,954. koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa skala
intimasi pelatih – atlet tersebut handal. Dengan demikian, aitem-aitem tersebut
dapat digunakan untuk penelitian dan disusun kembali seperti pada tabel 10
berikut.
Tabel 10. Distribusi Aitem Valid Skala Intimasi Pelatih – Atlet
Ket : tanda (...) dan ditebalkan adalah nomor baru untuk aitem yang valid

3. Pelaksanaan Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedua skala yang telah diujicobakan. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 21 November 2006 di SMU 15 Semarang. Subjek yang ikut dalam penelitian ini adalah semua atlet binaan IPSI Semarang, sebanyak 46 orang. Penelitian dilakukan secara klasikal Nomor Aitem No. Dimensi
Favourable Unfavourable
Jumlah Bobot
1. Pengungkapan diri
1 (1), 11 (9),
12 (14), 21
(22), 23 (29),
31 (36), 33
(39), 41 (41) ,
42 (42)
6 (5), 7 (13),
16 (18), 18
(25), 26 (32),
28 (38), 38
(40)
16 38, 09%
2. Kepercayaan
3 (6), 13 (19),
22 (26), 32
(33), 43 (37)
8 (2), 17 (10),
27 (15), 37
(23), 48 (30)
10 23,81%
3. Kecocokan pribadi
4 (3), 14 (11),
24 (16), 34
(24), 44 (31),
9 (7), 29 (20),
39 (27), 49
(34)
9 21,43%
4. Penyesuaian diri
5 (8), 15 (21),
35 (28), 45
(35)
10 (4), 30
(12), 50 (17) 7 16,67%
Total 23 19 42 100%
pada pukul 16.00 WIB sampai 16.30 WIB. Pada penelitian ini, peneliti juga
dibantu oleh asisten pelatih.
Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemberian
Angket Kecemasan Bertanding (State-A dan Trait-A) kepada subjek. Setelah
dilakukan penyekoran diperoleh bahwa subjek homogen karena semua atlet
memiliki trait-A yang rendah. Oleh karena itu, semua subjek diikutkan pada
penelitian ini. Jumlah subjek pada penelitian adalah sama ketika uji coba kedua
skala, yaitu sebanyak 46 orang atlet.
0 Rendah 6,7 Sedang 13,33 Tinggi 20
Gambar. 3
Gambaran tingkat trait-A
Dalam rangka menghilangkan efek belajar subjek terhadap alat ukur yang
digunakan, maka peneliti memberi jarak waktu yang lama antara uji coba dengan
waktu penelitian. Jarak antara penelitian adalah satu bulan tiga belas hari.
Kemudian, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang telah disusun kembali
dengan tampilan yang berbeda dengan alat ukur pada uji coba. Perubahan
dilakukan pada sampul depan penempatan aitem dalam skala dan format option
jawaban.




B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah semua atlet silat tanding IPSI Semarang. Atlet ini merupakan atlet daerah yang memiliki prestasi yang baik di tingkat Jawa Tengah dan berpotensi, sebagai bibit atlet nasional. Usia mereka masih usia 46 0 0 sekolah menengah, berkisar antara 16-18 tahun. Atlet memiliki kecenderungan cemas (trait-A) yang rendah, serta telah pernah menjalani training center. Jumlah subjek dalam penelitian adalah sebanyak 46 orang.

C. Hasil Analisis Data dan Interpretasi
Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan dengan cara memberikan skor total pada masing-masing variabel penelitian. Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi pada data penelitian. Uji asumsi yang diperlukan untuk menguji data penelitian adalah uji normalitas sebaran variabel penelitian dan uji linearitas hubungan antara variabel prediktor dengan variabel kriterium.

1. Uji Normalitas
Uji normalitas data bertujuan untuk melihat apakah data yang diperoleh terdistribusi normal atau tidak. Teknik yang digunakan untuk menguji kenormalan data tersebut adalah teknik Kolmogorov-Smirnov Goodnest of Fit Test. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan kedua variabel yang digunakan dalam penelitian terdistribusi normal. Dengan kata lain, uji normalitas terpenuhi.
Berikut dapat dilihat tabel 11 yang memuat uji normalitas sebaran data
penelitian untuk kedua variabel penelitian.

Tabel 11. Uji Normalitas Sebaran Data
Variabel Kecemasan Bertanding dan Intimasi Pelatih-Atlet
Variabel Kolmogorov-Smirnov P (p > 0,05) Bentuk
Kecemasan Bertanding 0, 814 0, 521 Normal
Intimasi Pelatih-Atlet 0, 739 0, 646 Normal





2. Uji Linearitas
Uji linearitas ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor dengan variabel kriteriumnya. Hasil uji linearitas hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding diperoleh F lin = 8,378 dengan p = 0,006 (p < 0,05). Hasil uji linearitas kedua variabel dapat dilihat pada tabel 12 berikut :

Tabel 12. Uji Linearitas
Variabel Kecemasan Bertanding dan Intimasi Pelatih-Atlet
Nilai F P (p < 0,05) Bentuk
8,378 0,006 Linear
Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara kecemasan bertanding dengan intimasi pelatih-atlet adalah linear. Oleh karena terpenuhinya asumsi tersebut, maka model analisis regresi dapat digunakan untuk memprediksi hubungan antara kecemasan bertanding dengan intimasi pelatih-atlet. Hadi (1995) mengatakan bahwa korelasi antara variabel kriterium dengan variabel prediktor dapat dilukiskan dalam suatu garis regresi, untuk garis regresi linear dengan satu variabel prediktor, persamaan linearnya, adalah Y = aX + K . Dengan demikian, korelasi linear negatif kecemasan bertanding dengan intimasi pelatih-atlet dapat dibuat persamaannya regresinya, sebagai berikut:

3. Uji Hipotesis
Hubungan antara kedua variabel, kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet ditunjukkan dengan skor korelasi sebesar rxy = -0,4 dengan p = 0,003 (p<0,05). Hasil uji hipotesis ini menunjukkan bahwa teradapat hubungan negatif yang signifikan antara kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet dapat diterima. Arah hubungan yang negatif menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatihatlet, maka semakin rendah tingkat kecemasan bertanding.

Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 13, 14, dan 15 dibawah ini :
Tabel 13.
Deskripsi Statistik Penelitian
Variabel Mean Standar deviasi N
Kecemasan Bertanding 78,00 23,846 46
Intimasi Pelatih-Atlet 113,35 20,319 46
Tabel 14.
Rangkuman Analisis Regresi Variabel Penelitian
Model Sum of Square Df Mean Square F Sig.
Regression 4092,831 1 4092,831 8,378 0,006
Residual 21495,169 44 488,527
Total 25588,000 45
Y = 759 – 5,22X
Tabel 15.
Koefisien Determinasi Penelitian
Model r r Square Adjusted r Square Std. Error of Estimate
1 -0,400 0,160 0,141 22,103
Pada tabel 15 di atas, dapat dilihat bahwa koefisien determinasi yang
ditunjukkan oleh r Square adalah 0,16. Angka tersebut mengandung pengertian
bahwa intimasi pelatih-atlet memberikan sumbangan efektif 16% terhadap
kecemasan bertanding. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa variabel kecemasan
bertanding dapat diprediksi oleh intimasi atlet terhadap pelatih sebesar 16% dan
sisanya sebesar 84% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor-faktor lain tersebut
adalah kepribadian atlet, rasa percaya diri, kesiapan fisik dan mental atlet serta
lingkungan dan situasi pertandingan.
Pada Bab ini juga akan dipaparkan gambaran umum skor variabel
kecemasan bertanding, yang dapat dilihat pada tabel 16 berikut.
Tabel 16. Gambaran Umum Skor Variabel Kecemasan Bertanding
dan Intimasi Pelatih-Atlet
Variabel Statistik Hipotetik Empiris
Kecemasan
Bertanding
Skor Minimal
Skor Maksimal
Mean
SD
0
188
94
31,33
25
115
78
23,846
Intimasi
Pelatih-Atlet
Skor Minimal
Skor Maksimal
Mean
SD
0
168
84
28
80
160
113,35
20,319
Berdasarkan tabel 16 di atas, akan dibuat suatu kategorisasi untuk
memberikan makna terhadap hasil penelitian. Kategorisasi bersifat relatif
sehingga peneliti dapat menetapkan secara subjektif luasnya interval yang dapat
mencakup setiap kategori (Azwar, 1999). Pada tabel 17 dan 18 berikut ini, dapat
dilihat klasifikasi kategori untuk kedua variabel penelitian, yang akan digunakan
sebagai data tambahan dalam pembahasan.
Pada tabel 17 berikut akan digambarkan kategorisasi variabel kecemasan
bertanding
Tabel 17.
Kategori Variabel Kecemasan Bertanding
Rendah sekali Rendah Sedang Tinggi Tinggi sekali
15,65 46,95 78,35 109,65 140,95 172,35
Berdasarkan tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa Mean Empirik (ME)
variabel kecemasan bertanding yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 78.
Nilai empirik 78 lebih kecil dari nilai hipotetik 94, angka ini menunjukkan bahwa
tingkat kecemasan bertanding atlet berada dalam kategori rendah, yaitu pada
rentang 46,95 sampai dengan 78,35.
Pada tabel 18 berikut ini akan digambarkan kategorisasi variabel intimasi
pelatih-atlet.
Tabel 18.
Kategori Variabel Intimasi Pelatih – Atlet
Buruk Sekali Buruk Sedang Baik Baik sekali
14 42 70 98 126 154
Berdasarkan tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa Mean Empirik (ME)
variabel intimasi pelatih-atlet pada penelitian ini sebesar 113,35 lebih besar dari
mean hipotetik 84. Nilai ini mengindikasikan bahwa variabel intimasi pelatih-atlet
berada pada kategori baik, pada rentang 112 sampai dengan 148.























BAB V
PENUTUP
A. Bahasan
Pengujian hipotesis yang telah dilakukan sebelumnya diperoleh harga bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding, dimana rxy = -0,4 dengan p = 0,003 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara intimasi pelatihatlet dengan kecemasan bertanding dapat diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatih dengan atletnya maka akan diikuti dengan
semakin menurunnya tingkat kecemasan bertanding atlet. Hasil penelitian ini juga mendukung pernyataan Lee (1993) yang mengatakan bahwa adanya intimasi pelatih-atlet secara signifikan dapat mereduksi kecemasan atlet. Selanjutnya, Florian, Mikulincer, Hirschberger (2002) melaporkan berbagai hasil penelitian, bahwa di saat seseorang mengalami perasaan terancam dan mengalami keterbatasan dalam mengatasi perasaan ancaman tersebut, maka orang tersebut akan termotivasi untuk meningkatkan kedekatan dan intimasi dengan orang terdekatnya, karena orang terdekatnya akan membantu mereka untuk menolak perasaan ancaman tersebut. Kemudian, dalam penelitiannya pun ditemukan bahwa hubungan yang dekat merupakan suatu dasar penyangga kecemasan (anxiety buffer) karena hubungan yang dekat merupakan sumber kekuatan dalam diri seseorang yang berfungsi untuk meregulasi distress, serta juga merupakan suatu alat yang efektif sebagai sumber penyesuaian terhadap ketakutan.
Berdasarkan uraian di atas, juga dapat dijelaskan bahwa dengan adanya intimasi pelatih-atlet membantu atlet dalam mengendalikan dan melakukan penyesuaian dengan tekanan-tekanan pertandingan. Pengendalian dan penyesuaian yang baik dapat menurunkan tingkat kecemasannya dalam menghadapi pertandingan. Oleh karena itu, bila atlet memiliki intimasi yang baik dengan pelatih, maka tingkat kecemasan bertandingnya rendah.
Pada penelitian terhadap atlet IPSI Semarang ditemukan bahwa faktor yang menjadi sumber kecemasannya dalam bertanding adalah adanya pikiran khawatir mengenai pertandingan yang akan dihadapinya, siapa lawan yang akan dihadapi, harapan akan kemenangan dan situasi lingkungan pertandingan. Akan tetapi, adanya intimasi yang baik dengan pelatih kecemasannya tersebut dapat mereka atasi dan tanggapi dengan hal-hal yang positif, sehingga tingkat kecemasan bertandingnya rendah. Intimasi yang baik antara pelatih-atlet ditunjukkan dengan adanya self disclosure (pengungkapan diri) dalam hubungan interpersonal yang dijalin dengan pelatih. Pengungkapan diri dengan pelatih mengenai ketakutan dan tekanantekanan pertandingan membantu atlet dalam menyalurkan tekanan-tekanan tersebut. Tersalurkannya tekanan-tekananan tersebut, maka dalam diri atlet timbul perasaan nyaman dan tenang, yang akhirnya dapat mereduksi kecemasannya dalam menghadapi pertandingan.
Hartanti (2004) dalam penelitiannya, menemukan bahwa salah satu cara yang dilakukan atlet dalam mereduksi kecemasannya saat menghadapi pertandingan adalah berdiskusi dengan pelatihnya. Begitu juga halnya yang dilakukan salah seorang atlet dari tiga atlet yang diwawancarai tanggal 24 November 2006, mengatakan bahwa perasaan cemas yang menghinggapinya sebelum bertanding, bisa mereda setelah ia mengungkapkan kegelisahan dan kecemasan kepada pelatih.
Intimasi yang baik dengan pelatih juga ditunjukkan dengan adanya kepercayaan atlet kepada pelatihnya. Adanya self disclosure dalam berbagi informasi mengenai sifat, sikap, nilai dan keyakinan antara pelatih-atlet meningkatkan saling pengertian dan saling memahami pribadi masing-masing. Suasana ini akan menimbulkan suatu perasaan penerimaan dalam diri atlet. Perasaan diterima dan dihargai oleh pelatih dapat meningkatkan harga diri dan
kepercayaan diri atlet bila bertanding.
Pate at al (1993) mengatakan bahwa atlet yang mau mengungkapkan dan membagi perasaan, keyakinan, nilai dan tingkah lakunya kepada pelatih, maka pelatih akan lebih mudah untuk memberi perhatian pada kualitas yang positif pada atlet tersebut dan menanggapi ungkapan perasaan tersebut dengan dorongan. Akhirnya atlet akan merasa nyaman dan percaya diri bila bertanding untuk pelatihnya. Sebaliknya, atlet akan menyukai dan menghargai pelatihnya. Dengan demikian, terbentuk suatu hubungan yang akrab, saling melengkapi, saling menguntungkan, saling mendorong dan saling mendukung. Hubungan yang akrab antara pelatih dengan atlet dapat dilihat, seperti diungkapkan oleh tiga orang atlet pada wawancara tanggal 24 November 2006.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang atlet tersebut, diperoleh bahwa pelatih bagi mereka bukan hanya sebagai pelatih tapi lebih dari itu, juga sebagai tempat berbagi perasaan di saat kurangsiap atau merasa cemas untuk menghadapi pertandingan dan masalah-masalah yang lainnya. Pelatih bagi mereka juga sebagai motivator dan sumber dukungan sosial di saat mereka merasa tertekan menghadapi pertandingan. Kemudian, keakraban antara pelatih dan atlet juga tampak pada salam hangat dengan menjabat tangan pelatihnya erat. Pelatih pun membalas salam mereka dengan menjabat tangan, kadang dengan diiringi dengan menepuk pundak atletnya, seperti memberikan semangat pada atletnya. Self disclosure dengan pelatih terjadi apabila pelatih juga memperlihatkan sikap keterbukaan, sikap responsif dan perhatian kepada atletnya. Sikap pelatih yang seperti ini akan menimbulkan suatu keberanian bagi atlet untuk membuka dirinya kepada pelatih. Kemudian, juga menimbulkan kepercayaan dalam diri atlet bahwa pelatih adalah orang yang paling diyakini untuk tempat berbagi perasaan dan orang yang akan bisa membantunya untuk mengatasi kecemasaannya tersebut.
Terbentuknya kepercayaan dan keyakinan bahwa pelatih adalah orang yang dapat membantunya untuk mengatasi kecemasannya, akan menimbulkan suatu persepsi atlet terhadap pelatih bahwa pelatih adalah seorang motivator, tempat memperoleh dukungan sosial dan fasilitator sehingga pelatih tidak dirasakan sebagai seorang yang memberikan tekanan dalam menghadapi pertandingan.
Suparmi dan Setiono (2000) mengatakan bahwa pada saat mengalami masalah-masalah psikologis, seseorang akan mendapatkan dukungan sosial justru karena adanya intimasi dalam hubungan yang dijalin. Tiga atlet yang diwawancarai tanggal 24 November 2006 mengungkapkan bahwa pelatih tidak terlalu menuntut untuk harus memenangkan pertandingan di setiap pertandingan dan di saat mereka mengalami kegagalan, pelatih selalu
memberikan semangat dan dorongan agar tampil lebih maksimal lagi di pertandingan yang lain. Saat atlet ini latihan tarung pun, pelatih terkesan juga memberikan semangat dan dukungan pada atlet yang tampil kurang maksimal.
Setelah atlet tersebut selesai bertarung, pelatih mengajak atlet berdiskusi mengenai apa yang harus diperbaiki, ditingkatkan dan yang dipertahankan dalam penampilannya. Pada saat itu, pelatih memberikan kesempatan kepada atlet untuk mengevaluasi penampilannya sendiri. Self disclosure antara pelatih dengan atlet IPSI Semarang juga tampak pada komunikasi dua arah antara atlet dengan pelatih. Komunikasi dua arah menciptakan suasana latihan mereka tidak tegang. Pelatih pun sangat memperhatikan (responsif) keadaan masing-masing atletnya. Sebelum latihan, pelatih menyempatkan waktunya untuk menyapa semua atletnya dan menanyakan kabar dan kegiatan hari itu, kadang diikuti dengan candaan. Selama latihan, pelatih juga tidak terlihat mendikte atau memerintah atlet. Pelatih hanya memberikan instruksi pada awal latihan mengenai apa yang harus dilakukan atlet. Setelah itu pelatih hanya mengamati dan sedikit memberikan arahan-arahan apabila ada atlet yang melakukan kesalahan. Pelatih juga melibatkan atletnya dalam diskusi-diskusi kecil seputar latihan dan peningkatannya, sebelum atau setelah latihan.
Adanya kecocokan pribadi (personal compatibility) antara pelatih dan atlet menunjukkan adanya kemampuan untuk menemukan persamaan dalam perbedaan, saling melengkapi kekurangan. Ini akan membentuk suatu kerjasama yang baik dan perasaan kebersamaan antara pelatih-atlet serta perasaan nyaman bagi atlet. Cox (2002) menjelaskan bahwa kecocokan pelatih-atlet dicirikan dengan adanya komunikasi yang baik dan pelatih selalu menunjukkan sikap menghargai kepada atletnya, sehingga terbentuk kerjasama yang baik dan perasaan kebersamaan.
Perasaan dihargai, kerjasama yang baik dan terbentuknya kebersamaan dalam hubungan pelatih-atlet akan membentuk konsep diri atlet yang positif. Konsep diri atlet yang positif akan membantunya dalam menilai tekanan-tekanan pertandingan sebagai suatu hal yang positif. Apabila atlet menilai situasi pertandingan sebagai hal yang positif, maka respon kecemasan yang berlebihan tidak akan muncul atau tingkat kecemasan bertandingnya rendah.
Sikap toleransi pelatih dan kerjasama pelatih dengan atlet IPSI Semarang juga terjalin baik. Jika atlet tidak dapat hadir pada saat latihan atau terlambat datang latihan karena ada kepentingan lain seperti urusan keluarga atau sekolah, maka pelatih akan sangat memaklumi dan menerima alasan-alasan tersebut. Hukuman hanya diberikan bila atlet tidak hadir latihan selama tiga kali berturutturut tanpa alasan yang jelas. Atlet diberi surat peringatan. Setelah tiga kali diberikan surat peringatan dan atlet tidak menanggapinya, maka atlet akan dikeluarkan dari tim. Intimasi yang baik antara pelatih dengan atlet juga ditunjukkan dengan
adanya perasaan empati dan adanya dukungan sosial dari pelatih. Dorongan, dukungan dan nasehat-nasehat yang diberikan pelatih akan membantu atlet dalam menilai situasi secara lebih positif. Dorongan pelatih merupakan suatu sumber kekuatan diri bagi atlet, sehingga dengan dorongan tersebut timbul kembali kepercayaan dirinya untuk menghadapi pertandingan. Tiga atlet yang diwawancarai tanggal 24 November 2006, mengatakan bahwa pelatih adalah orang yang paling mereka harapkan kehadirannya di saat mereka bertanding, karena dengan kehadiran pelatih memberikan suatu dukungan dan kekuatan atau semangat, di saat mereka bertanding sehingga dengan dukungan tersebut dapat membangkitkan rasa percaya dirinya untuk bertanding.
Tingkat kecemasan bertanding atlet IPSI Semarang ini rendah, juga didukung oleh pengalaman dan frekuensi bertanding yang sering. Atlet yang sudah berpengalaman atau ahli memiliki kemampuan kontrol yang baik dalam mengendalikan gejala-gejala kecemasan dibandingkan dengan atlet pemula (Fenz dan Epstein dalam Hardy, 1999) Atlet IPSI Semarang merupakan atlet muda tetapi atlet ini merupakan atlet yang sudah berpengalaman. Atlet yang bergabung dalam IPSI Semarang adalah atlet yang telah mengikuti banyak pertandingan, baik di daerah Semarang sendiri maupun di luar daerah Semarang. Atlet ini tidak hanya pernah mengikuti pertandingan yang diselenggarakan oleh IPSI, tetapi juga berprestasi pada pertandingan antar perguruan. Selain itu, untuk bergabung dalam IPSI Semarang mereka telah melalui beberapa kali pertandingan seleksi dan memiliki prestasi di tingkat Jawa Tengah. Setiap tiga bulan sekali, atlet-atlet ini melakukan uji tanding keluar. Daerah sasaran untuk melakukan uji tanding tersebut adalah Banyumas dan Solo.
Berdasarkan uraian di atas, jelas tergambar bahwa intimasi pelatih-atlet yang baik memiliki arti penting terhadap kecemasan bertanding. Dimana intimasi pelatih-atlet menumbuhkan kepercayaan diri bila bertanding, menciptakan suasana yang nyaman, hangat, bersahabat dan harmonis yang dapat membangkitkan motivasi atlet bertanding dan sumber dukungan emosional bagi atlet. Kesemuanya diperlukan atlet dalam menghadapi pertandingan, agar atlet dapat menilai situasi pertandingan sebagai hal yang positif, sehingga respon kecemasannya rendah.
Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar subjek penelitian didominasi oleh atlet pria sebanyak 31 orang (N = 31) dan sisanya, atlet wanita sebanyak 15 orang (N = 15 ). Dengan demikian, akan dilakukan analisis mengenai perbedaan tingkat kecemasan berdasarkan jenis kelamin, sebagai analisis tambahan. Perbedaan tingkat kecemasan bertanding akan diuji dengan menggunakan teknik Independent Sampel T Test dengan bantuan SPSS 12.00 Berdasarkan hasil analisis Independent Sampel T Test, didapatkan p = 0, 926 (p > 0,05) dengan nilai F = 0,009 ada di Equal Variance assumed, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan bertanding berdasarkan jenis kelamin. Tidak adanya perbedaan tersebut disebabkan karena setiap atlet, baik atlet putri atau pun atlet laki-laki memiliki tugas dan kewajiban yang sama, dengan beban latihan yang sama tanpa adanya perbedaan.
Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Wirawan (1999) yang juga menemukan bahwa tidak adanya perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan antara atlet pria dengan atet wanita. Tidak adanya perbedaan tersebut juga disebabkan karena tidak adanya perbedaan perlakuan pelatih baik pada atlet pria maupun wanita. Seluruh atlet memiliki tugas dan kewajiban yang sama, dengan beban latihan yang sama, tanpa adanya perbedaan.
Hasil analisis regresi yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa intimasi pelatih-atlet memberikan sumbangan efektif sebanyak 16% terhadap kecemasan bertanding. Kondisi ini menunjukkan bahwa variabel kecemasan bertanding dapat diprediksi oleh intimasi atlet terhadap pelatih sebesar 16,0% dan sisanya sebesar 84,0% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, antara lain kepribadian atlet, rasa percaya diri, kesiapan fisik dan mental atlet serta lingkungan dan situasi pertandingan.


B. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh simpulan sebagai
berikut :
1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding, dengan rxy = -0,4 dan p = 0,003 (p < 0,05). Angka ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dapat diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatihatlet maka semakin rendah tingkat kecemasan bertanding atlet, sebaliknya semakin buruk intimasi pelatih-atlet maka semakin tinggi tingkat kecemasan bertanding atlet.
2. Sumbangan efektif yang diberikan variabel intimasi pelatih-atlet sebesar 16%. Kondisi ini mengandung pengertian bahwa tingkat kecemasan bertanding atlet ditentukan oleh variabel intimasi pelatih-atlet sebesar 16% dan 84% lagi ditentukan oleh variabel lain.
3. Prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding dapat dirumuskan melalui persamaan garis regresi, seperti berikut:

C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Atlet
Penelitian ini menunjukkan bahwa intimasi pelatih-atlet memiliki pengaruh pada tingkat kecemasan bertanding. Oleh karena, bagi atlet yang telah memiliki intimasi yang baik dengan pelatih disarankan agar mempertahankan intimasi yang telah terjalin dengan baik selama ini atau bahkan sebaiknya dapat meningkatkan intimasi menjadi lebih baik lagi. Kemudian, juga dapat disarankan bahwa atlet jangan terlalu mengharapkan intimasi yang dijalin dengan pelatih sebagai suatu sarana utama dalam mengatasi dan mengendalikan kecemasannya, tetapi atlet juga harus memiliki kemandirian untuk mengendalikan kecemasannya. Y = 759 – 5,22X
2. Pelatih
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan bahwa peran pelatih sebagai motivator dan sumber dukungan emosional bagi dapat diterapkan dengan baik dengan mempertahankan intimasi yang telah dijalin selama ini. Selain itu, disarankan bahwa pelatih juga perlu memperhatikan faktor-faktor internal yang mungkin lebih berpengaruh terhadap kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan, serta dapat memberikan latihan kemandirian pada atlet dalam mengatasi masalah dan tekanan-tekanan pertandingan.

3. Pengurus IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) Semarang
Disarankan kepada pengurus IPSI Semarang bahwa pentingnya untuk meningkatkan peran pelatih sebagai seorang konselor, sebagai motivator karena hal ini penting dalam pembinaan aspek psikologis bertanding atlet, terutama aspek kecemasan bertanding. Peningkatan ini mungkin dilakukan dengan memberikan suatu program pelatihan kepada pelatih, misalnya pelatihan sebagai seorang konselor, efektifitas komunikasi pelatih-atlet dan pentingnya intimasi dalam hubungan pelatih-atlet.
Selain itu, juga disarankan bahwa pentingnya program rekreasi sekali seminggu untuk keakraban yang sudah ada, dapat diterapkan sebaik mungkin.. Program ini penting karena dapat meningkatkan intimasi antara pelatih dengan atlet. Selain itu, program ini dapat meningkatkan hubungan yang baik antara atlet, pelatih dan pengurus, sehingga dapat menghindari konflik yang mungkin dapat menimbulkan kecemasan bagi atlet dalam menghadapi pertandingan.
4. Penelitian selanjutnya
Bagi peneliti yang berminat untuk memperdalam penelitian dalam topik yang sama, bisa mengembangkan penelitian ini dengan memperbesar jumlah subyek penelitian, meneliti dalam cabang olahraga yang berbeda-beda, memodifikasi alat ukur yang digunakan, variabel lain yang belum diungkap dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang menentukan kecemasan bertanding, misalnya kepribadian atlet, kesiapan fisik dan mental atlet serta lingkungan dan situasi pertandingan.
Selain itu, juga disarankan untuk menggunakan metode lain misalnya interview yang mendalam (depth interview), agar lebih banyak dapat mengungkap dan menggambarkan kecemasan bertanding subjek, serta disarankan agar mempertimbangkan waktu pemberian skala kepada atlet, misalnya beberapa hari mendekati hari pertandingan.

Sumber: eprints.undip.ac.id/10947/1/SKRIPSI.pdf

Artikel terkait :

*      Kaset karate


 

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KECEMASAN OLAHRAGA
Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://vanbolon.blogspot.com/2013/09/kecemasan-olahraga.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Follow

Ricky Pratama support Eva's Blog - Original design by Bamz | Copyright of OLAHRAGA.

BINTANG

box

kursor

Blogger Widgets - See more at: www.simbolonbermanhot.blogspot.com