KECEMASAN OLAHRAGA
Sabtu, 07 September 2013
0
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Olahraga sebagai salah satu unsur yang
berpengaruh dalam kehidupan manusia, telah ikut berperan dalam mengharumkan
nama daerah dan bangsa, baik melalui kompetisi di tingkat nasional maupun
internasional. Setiap bangsa di seluruh dunia berlomba-lomba menciptakan
prestasi dalam kegiatan olahraga, karena prestasi olahraga yang baik akan
meningkatkan citra bangsa di dunia internasional. Sepanjang tahun 2005, catatan
prestasi Indonesia sangat memprihatinkan, baik di tingkat Asia Tenggara maupun
dunia. Kontingen Indonesia banyak yang mengalami kegagalan dalam mengikuti
berbagai kompetisi internasional. Jadi, sudah sangat jelas sekali bahwa
keterpurukan prestasi olahraga Indonesia saat ini merupakan suatu realitas dari
kondisi olahraga Indonesia (http://www.fajar.co.id/ news.php?newsid=14885). Realitas
dari kemerosotan prestasi olahraga tersebut dapat dilihat dari turunnya
peringkat Indonesia pada serangkaian kompetisi baik dalam regional maupun
internasional. Pada SEA Games misalnya, sejak tahun 1977 Indonesia selalu
menduduki posisi juara umum, tetapi mulai pada SEA Games XIII/1985 melorot ke
urutan kedua dan disusul pada SEA Games XVIII/1995 juga urutan kedua. Namun,
pada SEA Games XX/1999, SEA Games XXI/2001 dan SEA Games XXII/2003 kedudukan
Indonesia malah terperosot jauh ke peringkat ketiga. (Kompas, 17 Mei 2005).
Ironisnya, pada SEA Games XXIII/2005, kontingen Merah Putih gagal lagi
mempertahankan kedudukannya, malahan semakin terpuruk ke posisi lima.
Keterpurukan prestasi olahraga Indonesia
saat ini yang semakin jauh disebabkan karena beberapa cabang olahraga
individual, yang menjadi andalan bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh medali,
juga ikut mengalami penurunan prestasi. Salah satu diantaranya, dapat dilihat
pada cabang olahraga Karate. Karate sebagai olahraga bela diri yang di gemari
bangsa Indonesia mengalami penurunan prestasi sejak lima tahun terakhir ini.
Semenjak SEA Games XXI/2001, Kejuaraan Dunia 2003 dan SEA Games XXIII/2005, tim
karate Indonesia selalu gagal merebut kehormatan sebagai juara umum, padahal
sebelumnya tim karate Merah Putih selalu menduduki juara umum pada event
regional dan internasional tersebut (http://www.silat.blogsome.com/03/23/journal).
Olahraga bela diri asal Indonesia ini, yang seharusnya dimiliki dan didominasi
oleh bangsa Indonesia, sekarang telah dimiliki dan lebih maju di negara lain
dibandingkan di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, perkembangan
olahraga bela diri ini tertinggal dibandingkan dengan olahraga bela diri yang
berasal dari luar, seperti taekwondo, karate, wushu dan judo. Manajer PB
(Pengurus Besar) IPSI, Gumbira mengatakan bahwa PB IPSI harus segera melakukan
evaluasi dan instrospeksi kenapa silat yang sebenarnya merupakan tradisi bangsa
Indonesia harus menjadi milik bangsa lain, serta dapat melakukan pembenahan
terhadap pembinaan atlet dengan segera, agar silat Indonesia bisa kembali
berjaya (http://www.pikiranrakyat.com/ seagames05.htm). Beberapa pakar olahraga
menyimpulkan bahwa prestasi atlet Indonesia yang semakin terperosot dalam
beberapa kompetisi disebabkan oleh faktor pembinaan yang tidak konsisten, pola
regenerasi atlet yang tidak jelas serta tidak tersedianya dana yang cukup. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0312/
28/nas3.htm). Hal ini sangat bertolak belakang dengan negara-negara lain, yang telah
melakukan pembinaan terhadap atlet dengan sangat intensif, sehingga prestasi
dapat maju dengan pesat. Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) membentuk
cabang-cabang di tingkat propinsi dan kabupaten. Pembentukan IPSI cabang
merupakan salah satu usaha regenerasi atau pencarian bibit-bibit atlet-atlet
pencak silat. IPSI Semarang merupakan salah satu IPSI cabang di Jawa Tengah,
yang mengelola dan melakukan pembinaan terhadap atlet-atlet pencak silat tim
prestasi daerah Semarang. Pada even-even di tingkat Jawa Tengah, prestasi IPSI
Semarang ini berada di bawah IPSI cabang lainnya,. Fakta terbarunya dapat
dilihat pada Kejuaraan Daerah Pencak Silat Pelajar se-Jateng 2006. Pada Kejurda
ini, posisi pertama diduduki oleh IPSI Banjarnegara, posisi kedua diduduki oleh
oleh IPSI Kudus, posisi ketiga diduduki oleh Wonogiri, disusul Purworejo yang
menempati posisi keempat dan IPSI Semarang harus berada di bawahnya (http://www.
suaramerdeka.com/harian /semata-mata fakta!.htm). Prestasi olahraga sangat
ditentukan oleh penampilan (performance) atlet dalam suatu kompetisi. Harsono
(dalam Gunarsa, 1996) mengungkapkan bahwa penampilan puncak seorang atlet 80%
dipengaruhi oleh aspek mental ini dan hanya 20% oleh aspek yang lainnya,
sehingga aspek mental ini harus dikelola dengan sengaja, sistematik dan
berencana. Akan tetapi, di Indonesia aspek psikologis belum banyak dipelajari
dan diteliti sedangkan aspek fisik atlet telah banyak dipelajari (Gunarsa, 2000
; Hartanti dkk, 2004). Fokus pembinaan aspek mental pertandingan tergantung
pada ciri khas dan pengelompokkannya ke dalam olahraga individual atau tim
(Gunarsa, 1996).
Hasil penelitian Simon dan Marten (dalam
Hardy et al, 1999) ditemukan bahwa kecemasan bertanding adalah lebih tinggi
pada atlet muda dalam olahraga individual dibandingkan dengan olahraga tim dan
lebih tinggi pada olahraga individual kontak dibandingkan dengan olahraga
individual non kontak. Kemudian Wirawan (1999) melaporkan hasil penelitian
Warren dan Johnson pada tahun 1991, menyimpulkan bahwa luapan emosi yang kuat
sebelum pertandingan dalam bentuk rasa cemas bukan merupakan faktor utama pada sepakbola
Amerika Serikat, tetapi ada indikasi yang kuat bahwa faktor tersebut merupakan
sesuatu yang penting dan serius dalam gulat. Berdasarkan kedua hasil laporan
penelitian di atas, maka dalam pembinaan aspek psikologis atlet karate sebagai
olahraga individual kontak, seperti halnya dengan olahraga gulat sangat penting
untuk memperhatikan aspek emosinya, terutama masalah kecemasan dalam menghadapi
pertandingan.
Pada situasi kompetisi, kecemasan yang harus
ada sebelum bertanding adalah kecemasan dalam batas normal, yaitu sebagai suatu
kesiapan mental atlet untuk menghadapi pertandingan. Apabila atlet dihinggapi
rasa cemas yang tinggi dalam menghadapi pertandingan maka strategi, taktik dan
teknik yang telah dipersiapkan dengan baik sebelum pertandingan, tidak akan
bermanfaat lagi untuk menghasilkan suatu penampilan yang baik. Adjie Saloka,
ketua bidang umum PON Jateng untuk cabang pencak silat menjelaskan bahwa atlet
pencak silat sering kali dihinggapi ketegangan dan kecemasan sebelum bertanding,
sehingga aspek ini perlu diperhatikan dalam pembinaan mental atlet (http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/11/ora05.htm).
Berdasarkan wawancara tanggal 14 Mei
2006 dengan pelatih pada survey awal ke KKI Pematangsintar, pelatih
mengutarakan pengalamannya menjadi atlet, yang merasakan jantung deg-degan saat
akan memasuki arena pertandingan, membayangkan lawan yang akan dihadapi,
membayangkan bagaimana hasil yang akan diperoleh. Hal yang paling ditakutkannya
dalam bertanding adalah cedera fisik, karena karate adalah olahraga yang rentan
akan cedera fisik. Pelatih juga mengatakan bahwa ia juga melihat gejala-gejala
yang demikian pada atletnya. Beberapa hari saat sebelum bertanding banyak
atletnya yang mengeluhkan tidak siap dan mengeluh merasa cemas untuk menghadapi
pertandingan. Berdasarkan uraian di
atas, maka sudah jelas bahwa kecemasan dalam menghadapi pertandingan merupakan faktor yang penting
untuk menjadi perhatian yang lebih dalam melakukan pembinaan atlet, terutama
pada atlet karate. Pentingnya untuk memperhatikan tingkat kecemasan bertanding
atlet adalah, karena apabila atlet dihinggapi dengan kecemasan yang tinggi, menyebabkan
atlet kesulitan dalam mengontrol gerakannya. Akhirnya, akan berpengaruh
terhadap penampilannya (performance).
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa situasi pertandingan merupakan tekanan yang
besar bagi atlet. Bagi seorang atlet tim prestasi, pertandingan atau kompetisi
olahraga merupakan situasi yang membangkitkan kecenderungan kompetitif, tetapi
di lain pihak juga membangkitkan motif untuk menghindari kegagalan yang
dicerminkan melalui rasa cemasnya menghadapi pertandingan atau kecemasan
bertanding (Sudradjat, 1995).
Anshel
(dalam Satidarma 2000) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu reaksi emosi
terhadap suatu kondisi yang dipersepsi mengancam. Lebih lanjut, Anshel
menjelaskan bahwa di dalam olahraga, kecemasan menggambarkan perasaan atlet
bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi tampil buruk,
lawannya yang dipandang superior, akan mengalami kekalahan, dan akan dicemoohkan
teman apabila mengalami kekalahan. Kondisi ini akan menimbulkan kecemasan yang
akan memberikan dampak tidak menguntungkan pada atlet.
Banyak hal yang menjadi sumber kecemasan
bertanding bagi seorang atlet. Beberapa penelitian di luar negeri telah banyak
dilakukan untuk menemukan sumber-sumber kecemasan bertanding seorang atlet,
seperti penelitian yang dilakukan oleh Scanlan et al pada tahun 1991 dan Gould
et al pada 1993 (Woodman dan Hardy dalam Singer et al, 2001). Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa sumber kecemasan bertanding pada atlet adalah permasalahan
kesiapan dan penampilan, permasalahan hubungan interpersonal atlet dengan
pelatih dan teman tim, keterbatasan finansial dan waktu, prosedur seleksi dan
kurangnya dukungan sosial.
Selanjutnya, Woodman dan Hardy (dalam
Singer et al, 2001) menjelaskan bahwa faktor kecemasan sebelum bertanding
dipengaruhi oleh pelatih. Apabila pelatih memberikan dorongan yang kuat dalam
mencapai tujuan dan memberikan keyakinan bahwa mereka bisa mencapai tujuan
tersebut serta mempersiapkan atletnya dengan baik, maka atlet tersebut akan
menunjukkan emosi yang positif sebelum bertanding. Sebaliknya apabila pelatih
mencoba menekan atlet untuk mencapai tujuan yang tidak dapat dicapainya, maka
atlet akan menunjukkan reaksi emosi yang negatif sebelum pertandingan.
Pate et al (1993) mengatakan bahwa
sumber kecemasan yang utama bagi atlet adalah pelatih, karena pelatih merupakan
sumber utama pujian dan hukuman serta pelatih dapat mendorong atlet dan
menimbulkan kepercayaan diri pada atletnya atau pelatih bisa menghancurkan
kepercayaan diri dari atletnya. Selanjutnya, Pate et al (1993) menambahkan
bahwa kecemasan juga akan muncul apabila atlet tersebut bertanding untuk
pelatih yang tidak mempercayainya.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa pelatih juga bisa sebagai sumber tekanan dan bisa
merupakan sumber dukungan dan motivator bagi atletnya dalam meningkatkan
kepercayaan diri atlet untuk menghadapi pertandingan. Tuntutan pelatih yang
menekan atletnya untuk mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai atlet atau
diluar kemampuannya serta pelatih yang tidak mempercayainya dapat dihindari,
serta dukungan dan dorongan akan dapat diperoleh oleh atlet, apabila adanya
suatu intimasi antara pelatih dengan masing-masing atlet.
Menurut Reis dan Saver (dalam Prager,
1995) intimasi adalah suatu proses interpersonal yang melibatkan komunikasi
mengenai perasaan personal dan informasi kepada orang lain yang diterima
sebagai suatu bentuk kedekatan dan simpati. Kemudian, Kimmel (1990)
mendefinisikan intimasi sebagai hubungan timbal balik antara dua individu dan
saling mempercayai, yang melibatkan pengertian bahwa setiap individu unik dan
berbeda. Sadarjoen menjelaskan bahwa keintiman dapat membuat orang mengatasi persoalan
yang dihadapi, karena dalam keintiman terkandung unsur kesediaan mendengar yang
penuh simpati, dukungan emosional, serta nasehat yang benarbenar menolong
(http://www. kompas.com/harian /intimasi_01). Selain itu, dalam intimasi juga
terdapat unsur keterbukaan, kepercayaan dan kejujuran (Steinberg, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa penting membangun suatu intimasi antara pelatih dengan atlet,
karena dapat mereduksi kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan. Lee
(1993) menjelaskan bahwa intimasi pelatih-atlet secara signifikan dapat
menurunkan kecemasan, karena atlet mendapat kesempatan untuk meceritakan
ketakutan dan kecemasannya kepada pelatih. Kemudian, Pate et al (1993)
mengatakan bahwa atlet yang mau membagi perasaan, keyakinan, nilai dan tingkah
lakunya dengan pelatih, maka mendapat dukungan dan dorongan dari pelatih, yang
akhirnya dapat membuat atlet merasa lebih tenang dan percaya diri untuk
bertanding. Pentingnya intimasi dalam hubungan pelatih-atlet dapat dilihat dari
pernyataan Desi, atlet lompat jauh. Desi mengatakan bahwa cedera kaki yang dialaminya,
menyebabkannya tidak menjalani latihan. Hal ini menyebabkan dirinya merasa
cemas sebelum bertanding, tetapi karena kedekatannya dengan pelatih, yang
memberikan dukungan berupa nasehat-nasehat, membuat dirinya kembali percaya
diri untuk bertanding (http://www.indomedia.com/sripo/2004/09/09/0909
pon7.htm).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa
intimasi pelatih-atlet memiliki arti penting dalam mempengaruhi tingkat
kecemasan bertanding atlet. Oleh karena itu, penulis mengangkat variabel
intimasi pelatih-atlet ini dalam penelitian sebagai variabel yang dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan bertanding atlet.
B.
Perumusan
Masalah
Permasalahan yang diajukan dalam
penelitian adalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara intimasi
pelatih–atlet terhadap kecemasan bertanding dan seberapa besar sumbangan
efektif intimasi pelatih-atlet terhadap tingkat kecemasan bertanding pada atlet
pencak silat, serta bagaimana prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet
dengan kecemasan bertanding?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan
bertanding pada atlet pencak silat, melihat seberapa besar sumbangan efektif
dari intimasi pelatih-atlet terhadap tingkat kecemasan bertanding dan menemukan
suatu prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan
bertanding.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoretis
Penelitian diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang berarti bagi perkembangan psikologi olahraga, psikologi
pendidikan dan psikologi sosial, dan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai tingkat kecemasan bertanding atlet, khususnya bagi
atlet pencak silat yang tergabung dalam IPSI cabang Semarang, serta dapat
memberikan gambaran mengenai pentingnya intimasi pelatih-atlet untuk pembinaan
atlet dan kerjasama tim (atlet, pelatih dan pembina) yang baik dalam rangka
meningkatkan prestasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Bertanding
1.
Pengertian Kecemasan Bertanding
Pengertian umum, kecemasan merupakan
suatu kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada
diri seseorang. Anshel (dalam Satiadarma, 2000) mengungkapkan bahwa kecemasan
adalah reaksi emosi terhadap suatu kondisi yang mengancam. Weinberg dan Gould
(dalam Satiadarma, 2000) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosi negatif
yang ditandai oleh adanya perasaan khawatir, was-was, dan disertai dengan
peningkatan gugahan sistem faal tubuh. Greist (dalam Gunarsa, 1996) secara
lebih jelas merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya
disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan individu bersangkutan merasa
tidak berdaya dan mengalami kelelahan, karena senantiasa harus berada dalam
keadaan was-was terhadap ancaman bahaya yang tidak jelas.
Berdasarkan pengertian di atas,
kecemasan secara umum merupakan keadaan emosi negatif dari suatu ketegangan
mental yang ditandai dengan perasaan khawatir, was-was dan disertai dengan
peningkatan gugahan sistem faal tubuh, yang menyebabkan individu merasa tak
berdaya dan mengalami kelelahan. Satiadarma (2000) menjelaskan bahwa di dalam
dunia olahraga, kecemasan (anxiety), gugahan (arousal) dan stres (stress)
merupakan aspek yang memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga
sulit dipisahkan. Kecemasan dapat menimbulkan aktivasi gugahan pada susunan
saraf otonom, sedangkan stres pada derajat tertentu menimbulkan kecemasan dan
kecemasan menimbulkan stres. Lebih lanjut, Anshel yang sependapat dengan
Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000) menjelaskan bahwa gugahan bersifat
fisiologis ataupun psikologis yang bisa bernilai positif atau negatif,
sedangkan kecemasan sifatnya adalah emosi negatif. Kemudian, stres merupakan
suatu proses yang mengandung tuntutan substansial, baik fisik maupun psikis
untuk dapat dipenuhi
oleh
individu, karena kurang seimbangnya keadaan fisik atau psikis (Weinberg dan
Gould dalam Satiadarma, 2000). Terkait dengan olahraga, kecemasan seringkali
dialami oleh atlet ketika atlet akan menghadapi suatu pertandingan. Pertandingan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlombaan dalam
olahraga yang menghadapkan dua pemain untuk bertanding, sedangkan bertanding
adalah seorang lawan seorang. Pertandingan dalam istilah Inggrisnya, disebut
dengan competition yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kompetisi.
Chaplin (2006) mendefinisikan competition adalah saling mengatasi dan berjuang
antara dua individu atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan objek
yang sama. Cox (2002) mengungkapkan bahwa kecemasan menghadapi pertandingan merupakan
keadaan distress yang dialami oleh seorang atlet, yaitu sebagai suatu kondisi
emosi negatif yang meningkat sejalan dengan bagaimana seseorang atlet menginterpretasi
dan menilai situasi pertandingan. Gunarsa (1996) menjelaskan bahwa persepsi
atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi pada waktu menghadapi
pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan atau mendekati pertandingan akan
menimbulkan reaksi yang berbeda. Apabila atlet menganggap situasi dan kondisi
pertandingan tersebut sebagai suatu yang mengancam, maka atlet tersebut akan
merasa tegang (stress) dan mengalami kecemasan.
Amir (2004) menjelaskan bahwa kecemasan
yang timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak
memikirkan akibatakibat yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan atau
kalah dalam pertandingan. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang
tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang
demikian superior dan atlet mengalami kekalahan (Satiadarma, 2000). Rasa cemas yang
muncul dalam menghadapi pertandingan ini dikenal dengan kecemasan bertanding
(Sudradjat, 1995) Sementara itu, Gunarsa (1996) menyimpulkan hubungan kecemasan
bertanding dalam hubungannya dengan pertandingan sebagai berikut:
a.
Sebelum pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan
berat tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b.
Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c.
Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi
terutama bila skor pertandingan berimbang.
Berdasarkan uaraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa kecemasan bertanding merupakan reaksi emosi negatif atlet
terhadap keadaan tegang dalam menilai situasi pertandingan, yang ditandai
dengan perasaan khawatir, was-was, dan disertai peningkatan gugahan sistem faal
tubuh, sehingga menyebabkan atlet merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan
karena senantiasa berada dalam keadaan yang dipersepsi mengancam.
2.
Multidimensional Kecemasan Bertanding
Wann (1997) memakai konsep Spielberger
menjelaskan bahwa kecemasan pada atlet dalam menghadapi pertandingan dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
a.
State Anxiety (state-A)
State anxiety adalah suatu reaksi
terhadap situasi ketegangan yang sedang dihadapi, yang ditandai dengan
kekhawatiran dan terjadinya peningkatan aktivitas fisiologis yang sifatnya
sementara dan berlangsung untuk situasi tertentu saja. Satiadarma (2000)
mengungkapkan bahwa state-A berfluktuasi atau berubah-ubah dari suatu waktu ke
waktu yang lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang
terjadi saat kini. Jadi, sekalipun trait-A seorang atlet rendah namun apabila
atlet tersebut sedang bersiap-siap untuk menghadapi pertandingan, maka ia akan
mengalami state-A yang lebih tinggi daripada jika atlet tidak sedang manghadapi
pertandingan.
b.
Trait Anxiety (trait-A)
Trait anxiety merupakan faktor
kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai
suatu situasi yang mengandung ancaman atau situasi yang mengancam, yang relatif
menetap. Apabila seorang atlet memiliki trait-A yang tinggi, ia mempersepsi
situasi pertandingan sebagai situasi yang penuh dengan ancaman dan menimbulkan
kecemasan tinggi pada dirinya. (Spielberger dalam Cox 2002). Cox (2002)
menjelaskan lebih lanjut bahwa kecemasan sebagai state anxity atau trait
anxiety memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitif anxiety) dan
komponen somatik (somatic anxiety). Cognitif anxiety merupakan komponen mental,
yaitu munculnya kecemasan disebabkan karena adanya suatu ketakutan terhadap
penilaian sosial yang negatif, ketakutan akan kegagalan dan kehilangan harga
diri. Somatic anxiety merupakan komponen fisik dan mencerminkan respon-respon
fisiologis, seperti peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan dan
ketegangan otot-otot.
Berdasarkan penjelasan di atas,
disimpulkan bahwa kecemasan bertanding dikenal dalam reaksi kecemasan
bertanding (state anxiety) dan kecemasan sebagai kepribadian (trait anxiety).
State-A maupun trait-A dirasakan dalam pemikiran dan persepsi akan ketakutan
menghadapi pertandingan (kognitif) dan peningkatan respon fisiologis (somatik)
3.
Model Proses Kecemasan Bertanding
Model ini dikembangkan oleh Martens yang
merupakan pengembangan konsep Spielberger mengenai trait-A dan state-A yang
diterapkan pada situasi pertandingan. Fahmi (1995) memakai model proses
kompetitif Martens untuk menjelaskan proses kecemasan menghadapi pertandingan
dalam proses kompetitif. Martens menyatakan bahwa proses kompetitif terdiri
atas empat unsur, sebagai berikut:
a.
Situasi kompetitif yang objektif.
Situasi
kompetitif yang objektif didefinisikan sebagai tuntutan lingkungan terhadap
seseorang dalam proses kompetisi. Tuntutan lingkungan ditentukan oleh apa yang
harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan hasil yang baik bila dibandingkan
dengan suatu standar.
b.
Kedaan kompetitif yang subjektif.
Keadaan kompetitif yang subjektif adalah
cara seseorang merasakan, menerima, dan menilai situasi kompetisi objektif.
Situasi kompetitif subjektif berkaitan erat dengan kecemasan kepribadian
(trait-A), sikap dan kemampuan serta faktor-faktor interpersonal. Istilah
situasi kompetitif subjektif yang digunakan oleh Martens dalam proses
kompetitif mengarah pada suatu penilaian kognisi seseorang terhadap
situasi-situasi kompetitif, yang merupakan suatu proses yang menentukan apakah
respon kecemasan sebelum kompetisi akan terjadi atau tidak. Apabila situasi
kompetisi menghasilkan kekhawatiran, perasaan gelisah dan meningkatnya
aktivitas fisiologis, maka suatu respon kecemasan akan mengikutinya.
c.
Respon terhadap keadaan
Respon adalah tanggapan seseorang
terhadap situasi tertentu. Seseorang dalam merespon situasi kompetitif
objektif, sebagian besar ditentukan oleh situasi kompetitif subjektifnya.
d.
Konsekuensi
Konsekuensi adalah akibat yang
ditanggung seseorang terhadap responnya. Konsekuensi dari keikutsertaannya
dalam proses kompetisi olahraga akan membebani dirinya atau mencapai sesuatu
dari orang lain (baik nyata atau tidak) yang dirasakan sebagai hadiah atau
hukuman. Konsekuensi dalam kompetisi sering dimaknai dengan kesuksesan atau
kegagalan. Kesuksesan dirasakan sebagai konsekuensi positif, sedangkan
kegagalan dirasakan sebagai konsekuensi negatif. Wann (1997) secara sederhana
menggambarkan proses kecemasan dengan menggunakan model dari Martens sebagai
berikut:
Stimulus
Persepsi
individu
Respon
Gambar.
1 Model Proses Kecemasan Bertanding
Situasi
pertandingan
yang
objektif
Ketidakpastian
akan
hasil
yang diperoleh
Pentingnya
hasil yang
akan
diperoleh
Persepsi
mengenai
ancaman
Reaksi
cemas
(State-A)
Trait
Anxiety
(Trait-A)
Model ini menjelaskan bahwa respon dan
interpretasi atlet mengenai situasi pertandingan yang dinilai sebagai suatu
peristiwa yang penting akan menimbulkan suatu reaksi yang berbeda bagi
masing-masing atlet. Persepsi mengenai situasi pertandingan melibatkan
ketidakpastian dan pentingnya hasil yang diperoleh dari pertandingan tersebut.
Persepsi atlet terhadap situasi ini akan menentukan apakah atlet menilai
situasi pertandingan yang akan dihadapi sebagai suatu ancaman atau tidak.
Apabila atlet menilai situasi pertandingan sebagai suatu yang mengancam, maka
akan muncul respon kecemasan. Persepsi atlet terhadap situasi kompetisi
objektif salah satunya sangat dipengaruhi oleh trait-A.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
ditarik suatu simpulan bahwa respon kecemasan atlet dalam menghadapi
pertandingan sangat dipengaruhi oleh persepsi atau penilaian atlet terhadap
situasi pertandingan tersebut. Persepsi ini akan membentuk situasi kompetitif
subjektif atlet apakah situasi pertandingan akan dinilai sebagai situasi yang
mengancam atau tidak, juga dipengaruhi oleh faktorfaktor yang ada dalam diri
atlet, seperti kepribadian, sikap, kemampuan serta faktor yang berada di luar
diri atlet, seperti faktor interpersonal.
4.
Gejala Kecemasan Bertanding
Kecemasan atlet saat akan bertanding
dapat dideteksi melalui gejala-gejala kecemasan, yang dapat mengganggu
penampilan seorang atlet. Kebanyakan para ahli membedakan gejala-gejala itu
menjadi gejala fisik dan gejala psikis. Dengan demikian, gejala-gejala
kecemasan bertanding yang akan dijelaskan, terdiri atas dua gejala, yaitu
gejala fisik dan gejala psikis (Harsono dalam Gunarsa, 1996 ; Pate et al,
1993):
a.
Gejala fisik, ditandai dengan:
1)
Adanya perubahan yang dramatis pada tingkah laku, gelisah atau tidak tenang,
sulit tidur.Tingkah laku yang sering ditunjukkan atlet dalam menghadapi
pertandingan adalah sering menggaruk-garuk kepala dan sering jalan
mondar-mandir (Amir, 2000)
2)
Terjadi ketegangan pada otot-otot pundak, leher, perut, dan otot-otot ekskremitas
3)
Terjadi perubahan irama pernapasan
4)
Terjadi kontraksi otot setempat yaitu: pada dagu, sekitar mata dan rahang.
Selain itu, Amir (2000) menambahkan
gejala-gejala fisik kecemasan sebagai berikut: raut muka dan dahi yang
berkerut, gemetar, kaki terasa berat, badan terasa lesu, tubuh terasa kaku,
jantung yang berdebar-debar keras, sering ingin buang air kecil, sering minum
air dan berkeringat dingin.
b.
Gejala psikis, ditandai dengan:
1)
Gangguan pada perhatian dan konsentrasi
Perhatian
atlet dapat terpecah karena munculnya pikiran-pikiran yang negatif mengenai
pertandingan dan berpikir tentang hal-hal yang tidak berhubungan dengan
pertandingan (Amir, 2000)
2)
Terjadinya perubahan emosi
3)
Menurunnya rasa percaya diri
4)
Timbul obsesi
5)
Menurunnya motivasi
6)
Merasa cepat putus asa
7)
Kehilangan kontrol
Berdasarkan uraian di atas, ditarik
suatu simpulan bahwa gejala kecemasan bertanding dapat dikelompokkan menjadi
gejala fisik dan gejala psikis. Gejala fisik dan gejala psikis ini digunakan
lebih lanjut untuk mengungkap tingkat kecemasan bertanding.
5.
Sumber-Sumber Kecemasan Bertanding
Hardy et al (1999) menyimpulkan sumber-sumber
kecemasan bertanding atlet dari berbagai hasil penelitian, antara lain:
a.
Kekurangsiapan dalam penampilan
Adanya ketakutan untuk bertanding
menyebabkan atlet merasa kurang siap untuk menghadapi pertandingan, yang
akhirnya menimbulkan kecemasan (Gunarsa, 1996).
b.
Permasalahan interpersonal dengan tim dan pelatih
Hubungan interpersonal yang tidak baik
antara pelatih dan atlet merupakan sumber kecemasan bagi atlet dalam menghadapi
pertandingan. Pate et al (1993) menjelaskan bahwa permasalahan atlet dengan
pelatih dapat berkembang dari adanya konflik antar pribadi dan konflik yang
disebabkan karena kegagalan atlet dalam bertanding. Apabila konflik berkembang
dan berlanjut, akan menjadikan atlet menyimpulkan bahwa apabila mereka membuat
kesalahan yang fatal dalam pertandingan, maka mereka akan dipersalahkan oleh
pelatih. Akhirnya, hal ini akan menyebabkan kecemasan pada atlet dan menurunnya
penampilan. Selanjutnya, Pate et al (1993) mengungkapkan bahwa pelatih yang
tidak mempercayai atlet dalam bertanding akan menimbulkan kecemasan baginya
dalam menghadapi pertandingan tersebut.
c.
Keterbatasan dana dan waktu latihan
Keterbatasan dana berhubungan dengan
dana yang harus dikeluarkan oleh atlet untuk mengikuti suatu pertandingan
tersebut. Waktu latihan yang singkat atau mendesak juga dapat menimbulkan
kecemasan bagi atlet dalam menghadapi pertandingan.
d.
Prosedur seleksi
Prosedur seleksi yang tidak jelas juga
ikut mempengaruhi tingkat kecemasan seorang atlet dalam bertanding.
e.
Kekurangan dukungan sosial
Kurangnya dukungan sosial yang diperoleh
atlet, dapat menimbulkan kecemasan dalam menghadapi pertandingan. Dukungan
sosial bisa diperoleh dari orang-orang terdekat, misalnya dari orang tua, teman
satu tim atau pelatih. Harsono (dalam Gunarsa, 1986) menjelaskan bahwa apabila
atlet memiliki hubungan personal dengan pelatih maka atlet akan mengharapkan kehadiran
pelatih selama bertanding, karena dengan kehadiran pelatih seorang
atlet
mendapat dukungan. Dukungan emosional dari pelatih dapat membuat atlet merasa
mampu menghadapi dan mengatasi situasi-situasi penting. Menurut Gunarsa (1996)
sumber-sumber kecemasan bertanding, selain yang telah disebutklan di atas
adalah:
a.
Tuntutan sosial
Tuntutan sosial berlebihan yang tidak
dapat atau belum dapat dipenuhi oleh atlet yang bersangkutan dapat menimbulkan
kecemasan bagi atlet. Tuntutan sosial ini bisa berasal dari pelatih. Jika
pelatih menekan atau menuntut atletnya untuk mendapatkan tujuan yang tidak
mungkin mereka capai, maka perasaan negatif akan selalu membayangi atlet
sebelum pertandingan (Hardy, 1999). Pate at al (1993) menambahkan bahwa tekanan
pelatih ini merupakan sumber utama kecemasan bagi atlet dalam menghadapi
pertandingan, karena pelatih merupakan sumber utama dan pujian, serta yang akan
mendorong dan mengisi kepercayaan diri atlet.
b.
Standar prestasi individu yang terlalu tinggi dari kemampuan yang dimilikinya
seperti misalnya pada atlet yang kecenderungannya perfeksonis.
Cox (2002) berpendapat bahwa
kecenderungan perfeksionis yang dimiliki atlet dapat menimbulkan kecemasan bagi
atlet tersebut dalam menghadapi pertandingan.
c.
Pola berpikir dan persepsi negatif terhadap situasi yang ada dan terhadap diri sendiri.
Persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi waktu menghadapi
pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan maupun mendekati pertandingan bisa
bermacam-macam. Apabila atlet mempersepsikan situasi pertandingan sebagai suatu
ancaman, maka salah satu emosi yang muncul adalah kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa banyak hal yang dapat menjadi sumber kecemasan atlet dalam
menghadapi pertandingan. Sumbersumber kecemasan bertanding bisa berasal dari
dalam diri atlet (internal) dan bisa berasal dari luar diri atlet (eksternal)
atau keduanya dapat secara bersamaan menjadi sumber kecemasan atlet dalam
menghadapi pertandingan.
6.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Bertanding
Menurut Endler (dalam Cox, 2002) ada
empat faktor yang dapat meningkatkan kecemasan dalam menghadapi pertandingan,
antara lain:
a.
Ketakutan akan kegagalan
Ketakutan
akan kegagalan adalah ketakutan bila dikalahkan oleh lawan yang dianggap lemah
sehingga merupakan suatu ancaman terhadap ego atlet.
b.
Ketakutan akan cedera fisik
Ketakutan
akan serangan lawan yang dapat menyebabkan cedera fisik merupakan ancaman yang
serius bagi atlet.
c.
Ketakutan akan penilaian sosial
Kecemasan
muncul akibat ketakutan akan dinilai secara negatif oleh ribuan penonton yang
merupakan ancaman terhadap harga diri atlet. Pate et al (1993) menjelaskan
bahwa kecenderungannya masyarakat akan memberikan penilaian positif kepada
atlet yang berhasil memenangkan pertandingan dan akan cenderung memberikan
penilaian yang negatif terhadap atlet yang kalah. Pengakuan sekolah, hadiah,
persetujuan teman dekat dan pemberitaan surat kabar secara intensif serta
kesempatan untuk ikut serta di tingkat yang lebih tinggi dimungkinkan bagi
atlet yang berhasil.
d.
Situasi pertandingan yang ambigu
Ketika
seorang atlet tidak mengetahui kapan memulai pertandingan bisa
menyebabkan
atlet menjadi cemas.
e.
Kekacauan terhadap latihan rutin
Kecemasan
muncul apabila atlet diminta untuk mengubah cara atau teknik
tanpa
latihan sebelum bertanding.
Menurut
Hardy (1999) ada beberapa hal yang mempengaruhi respon kecemasan atlet dalam
menghadapi pertandingan, antara lain:
a.
Pengalaman
Kemampuan untuk mengendalikan kecemasan
merupakan faktor yang sangat penting, yang harus dimiliki oleh atlet untuk
menghasilkan suatu penampilan puncak. Kemampuan untuk mengendalikan kecemasan
didapatkan dari pengalaman-pengalaman atlet dalam menghadapi pertandingan.
Hardy melaporkan hasil penelitian Fenz dan Epstein mengenai pengaruh pengalaman
terhadap respon kecemasan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa atlet
yang sudah berpengalaman atau ahli memiliki kemampuan kontrol yang baik dalam
mengendalikan gejala-gejala kecemasan dibandingkan dengan atlet pemula,
sehingga atlet bisa mencapai penampilan puncak. Kemudian atlet yang sudah
berpengalaman akan merasakan kecemasan hanya pada sebelum bertanding
dibandingkan dengan atlet yang belum
berpengalaman.
b.
Trait Anxiety
Pengaruh trait anxiety terhadap
penampilan ditengahi oleh state anxiety atlet, dengan kata lain pengaruh trait
anxiety terhadap penampilan hanya melalui perubahan dalam state anxiety. Atlet
yang trait anxiety tinggi akan merespon situasi pertandingan dengan reaksi
kecemasan (state anxiety) yang tinggi. Atlet yang memiliki trait anxiety yang
tinggi akan mempersepsi situasi pertandingan sebagai suatu yang mengancam,
sehingga atlet tersebut
menanggapinya
dengan state anxiety yang lebih tinggi dibandingkan dengan atlet dengan trait
anxiety yang rendah. Dengan demikan, atlet dengan trait anxiety rendah akan
menemukan suatu state anxiety yang bersifat mendorong penampilannya (facilitative)
sedangkan atlet dengan trait anxiety yang tinggi akan menemukan suatu state
anxiety yang bersifat menurunkan penampilan (debilitative).
c.
Strategi Manajemen Stres
Berikut merupakan model fungsi penilaian
(appraisal), gugahan (arousal), aktivasi (activation), kecemasan (anxiety) dan
penampilan (performance)
Situasional
demand
Anxiety
Appraisal
Arousal
Activation
Performance
Gambar
2
Model
Fungsi Apraisal, Arousal, Activation, Anxiety and Performace
Berdasarkan model di atas, maka
manajemen stres digunakan untuk membantu atlet untuk mengendalikan kecemasannya
dalam menghadapi pertandingan, sehingga dengan strategi yang efektif dan tepat
akan membantu atlet untuk menimbulkan suatu aktivasi yang sesuai dengan beban
tugas yang dipikulnya. Akhirnya, atlet dapat tampil dengan optimal.
Selain faktor yang telah dijelaskan di
atas, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap kecemasan bertanding adalah
rasa percaya diri. Pate et al (1993) mengungkapkan bahwa rasa percaya diri
merupakan faktor yang terpenting dalam menentukan apakah rasa takut menyebabkan
kecemasan atau dapat menyebabkan seorang atlet menjadi berani dan bersemangat.
Apabila atlet memiliki rasa percaya diri maka atlet akan terhindar dari
kecemasan, sebaliknya apabila rasa percaya diri atlet rendah, maka atlet
tersebut akan mengalami kecemasan.
Faktor lain yang dapat berpengaruh
terhadap kecemasan seorang atlet dalam menghadapi pertandingan adalah intimasi.
Lee (1993) mengatakan bahwa intimasi antara atlet dengan pelatih dapat
menurunkan kecemasan atlet, karena atlet dapat mengkomunikasikan ketakutan dan
kecemasannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecemasan
bertanding, yaitu rasa percaya diri, intimasi, pengalaman, trait anxiety dan
strategi manajemen stres dalam mengendalikan dan menurunkan tingkat kecemasan
bertanding.
B. Intimasi
Pelatih-Atlet
1.
Pengertian Intimasi Pelatih-Atlet
Secara harfiah intimasi dapat diartikan
sebagai kedekatan atau keakraban dengan orang lain. Intimasi dalam pengertian
yang lebih luas telah banyak dikemukan oleh para ahli. Shadily dan Echols
(1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang kuat yang didasarkan oleh
saling percaya dan kekeluargaan. Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi
sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan
kebutuhannya terhadap orang lain. Kemudian, Steinberg (1993) berpendapat bahwa
suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang
didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan
pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling
berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
Intimasi menurut Levinger & Snoek
(Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk hubungan yang berkembang dari
suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara dua individu. Keduanya saling
berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada hal-hal yang berkaitan dengan
fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling mereka, tetapi lebih bersifat
pribadi seperti berbagi pengalaman hidup, keyakinan-keyakinan, pilihan-pilihan,
tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada tahap ini akan terbentuk perasaan atau
keinginan untuk menyayangi, memperdulikan, dan merasa bertangung jawab terhadap
hal-hal tertentu yang terjadi pada orang yang dekat dengannya.
Atwater (1983) mengemukakan bahwa
intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan
kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi
mengarah pada keterbukaan pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan
perasaan mereka yang terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang
penuh makna untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan
memperkuat ikatan yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui
saling berbagi dan membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta
kemampuan untuk merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia
dkk, 2001). Selain itu dalam proses intimasi perlu untuk memasukkan unsur
perasaan bersatu dengan orang lain. Kebutuhan untuk bersatu dengan orang lain
merupakan pendorong yang sangat kuat bagi individu untuk membentuk suatu
hubungan yang kuat, stabil, dekat dan terpelihara dengan baik (Papalia dkk,
2001). Kedekatan perasaan seperti ini dapat menimbulkan suatu hubungan yang
erat dimana
hubungan
ini sebagai lambang dari empati (Parrot dan Parrot, 1999). Berdasarkan beberapa
pengertian intimasi di atas, dapat disimpulkan bahwa intimasi adalah suatu
hubungan interpersonal yang berkembang dari hubungan timbal balik antara dua
individu, yang terwujud melalui saling berbagi berbagi perasaan dan pikiran
yang terdalam, saling membuka diri, serta saling menerima dan menghormati satu
sama lain. Pengertian intimasi ini akan dijadikan sebagai dasar dalam
merumuskan suatu pengertian intimasi pelatih-atlet.
Pelatih adalah seorang yang profesional
yang tugasnya membantu atlet dan tim dalam memperbaiki penampilan olahraga
(Pate et al,1993). Seorang atlet tidak akan bisa sukses tanpa pelatih yang berpengalaman,
sehingga penting untuk menciptakan suatu hubungan yang baik antara pelatih
dengan masing-masing atletnya (Cogan, 2004). Kemudian, Cogan (2004) menambahkan
bahwa idealnya hubungan antara pelatih dengan atlet disertai dengan saling
menghormati, saling pengertian, saling mempercayai dan adanya percakapan yang
bersifat terbuka dan bersifat dua arah antara pelatih dan atlet serta
pengungkapan perasaan dan permasalahan pribadi. William (1994) menjelaskan
bahwa keefektifan interaksi antara pelatih dengan atletnya didasarkan pada
proses mutual sharing dan adanya saling pengertian. Mutual sharing melibatkan
proses yang timbal balik dalam mengungkapkan pikiran, perasaan atau informasi
yang bersifat pribadi. Selanjutnya, Yukelson (dalam William, 1994) menambahkan
bahwa pengungkapan perasaan dan pikiran tersebut harus dapat dikomunikasikan
secara terbuka dan jujur.
Menurut Santrock (2003) adanya
pengungkapan diri dan pikiran-pikiran pribadi merupakan pengertian intimasi
dalam hubungan pertemanan. Gunarsa (1996) menggambarkan kedekatan pelatih-atlet
sebagai suatu hubungan persaudaraan yang yang harus ada jarak karena pelatih
juga seorang pendidik atau guru. Jarak di sini maksudnya adalah bahwa kedekatan
hubungan pelatihatlet sebatas untuk perkembangan atlet bukan berdasarkan adanya
perasaan kasih sayang satu sama lain (Gunarsa, 1996).
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa intimasi pelatih-atlet adalah suatu bentuk hubungan
interpersonal antara pelatih dengan atlet yang berkembang dari hubungan yang
bersifat timbal balik dalam berbagi informasi, perasaan terdalam dan
pengalaman, hanya sebatas untuk perkembangan dan kemajuan atlet, yang disertai
dengan saling menghormati, saling mempercayai dan saling menghormati dalam
hubungan tersebut.
2.
Aspek-aspek Intimasi Pelatih-atlet
Hubungan intim dapat terjadi dalam
hubungan romantis, pertemanan dan hubungan orang tua-anak serta hubungan
interpersonal lainnya, dimana dalam hubungan tersebut terdapat interaksi yang
intim. Interaksi intim meliputi dua aspek yaitu (Prager, 1995):
a.
Pengalaman intim, yaitu persepsi mengenai pengertian dan perasaan positif (kehangatan
dan ketertarikan).
b.
Perilaku intim, meliputi keintiman verbal dan keintiman nonverbal.
Berdasarkan pengertian intimasi pelatih
dengan atletnya, digambarkan bahwa intimasi yang terjadi antara pelatih dengan
atletnya adalah intimasi dalam hubungan pertemanan. Pada hubungan pertemanan,
keintiman verbal yang paling penting (Baron dan Byrne, 2005 ). Sprecer dan Duck
(dalam Brehm et al, 2002) mejelaskan bahwa keintiman verbal meliputi komunikasi
verbal yang penting dalam mengembangkan intimasi. Jourard (dalam Prager, 1995)
memberikan batasan bahwa keintiman verbal melibatkan pengungkapan diri,
kecocokan dan kepercayaan. Kemudian, Atwater (1983) yang memiliki pendapat yang
sama dengan Jourard menambahkan satu aspek yang mendukung intimasi, yaitu
penyesuaian diri. Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing aspek.
a.
Pengungkapan diri
Pengungkapan diri (self disclosure) ini
merupakan pusat intimasi. Suatu hubungan interpersonal dapat dikatakan suatu
hubungan interpesonal yang intim apabila disertai dengan pengungkapan diri
(self disclosure) (Atwater, 1983 ; Brehm et al, 2002). Kemudian, Jourard (dalam
Calhoen dan Acocella, 1990) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri bersinonim
dengan intimasi. Pengungkapan diri harus dilakukan dengan dua orang atau lebih
yang secara sukarela saling berbagi informasi berupa pemikiran dan perasaan
yang paling mendalam. Steinberg (1993) menjelaskan bahwa dengan pengungkapan diri
kepada individu lain, individu tersebut dapat memahami dan mengerti apa yang
diharapkan, dibutuhkan, disukai dan tidak disukai dari dirinya. Pengungkapan
diri ini meliputi pengungkapan perasaan, persepsi, ketakutan dan keraguan atau
ketidakyakinan dirinya kepada orang lain (Spurgin, 1989). Pada aspek
pengungkapan diri terdapat aspek-aspek yang menunjang suatu
intimasi
(Atwater, 1993 ; Brehm et al, 2002), yaitu:
1)
Timbal balik
Pengungkapan diri dengan orang lain
biasanya bersifat timbal balik (Brehm et al, 2002). Pengungkapan diri ini akan
semakin meningkat saat tiap individu saling membuka diri dan saling meminta
informasi tentang masingmasing pihak. Timbal balik, juga didukung oleh
tanggapan (responsiveness) dari partner dan berharap orang lain (partner)
meresponnya dengan memberi pengertian, perhatian serta mendukung sepenuhnya
(Brehm et al, 2002) Hubungan timbal balik antara pelatih-atlet terjadi dalam
pengungkapan diri atlet mengenai perasaan ketakutan, keraguan atau
ketidakyakinan, persepsi kepada pelatih dengan harapan pelatih meresponnya
dengan memberi pengertian, perhatian dan mendukung sepenuhnya.
2)
Ketertarikan
Seseorang mau mengungkapkan dirinya
kepada orang lain, berarti orang itu menyukai orang tersebut untuk berbagi
informasi. Kemudian, Collins dan Miller (dalam Michener dan De Lameter, 1999)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih suka untuk membuka informasi yang
bersifat pribadi kepada orang yang disukainya.
b.
Kepercayaan
Keputusan untuk membuka diri kepada
orang lain memiliki pengertian bahwa individu tersebut mempercayai orang lain.
Prager (1995) mendefinisikan kepercayaan sebagai suatu sikap atau harapan
seseorang terhadap orang lain dalam berinteraksi. Kemudian Deutsch (dalam
Prager, 1995) menegaskan bahwa kepercayaan adalah keyakinan bahwa seseorang
akan menemukan apa yang diinginkannya dari orang lain untuk meredam ketakutan
yang sedang dialaminya.
c.
Kecocokan pribadi
Sesuatu yang mendasar dalam mencari
kecocokan antara pribadi melibatkan persamaan di antara orang-orang yang
terlibat dalam hubungan tersebut. Kecocokan pribadi diartikan sebagai kemampuan
untuk menjalin suatu hubungan dengan melihat persamaan di antara orang-orang
yang terlibat dalam hubungan tersebut. Persamaan itu antara lain: persamaan
latar belakang, budaya sosial dan pendidikan. Selain itu persamaan minat,
temperamen, dan nilai-nilai juga penting meskipun persamaan ini cenderung akan
berkurang konsistensinya dalam hubungan tersebut nantinya. Selain itu,
kecocokan pribadi akan tercita apabila perbedaan-perbedaan diantara kedua
individu berfungsi sebagai saling melengkapi (complementary), bukan sebagai
sumber konflik.
d.
Penyesuaian diri
Karakteristik yang paling dibutuhkan
dalam suatu hubungan dengan orang lain adalah kedalaman emosi diantara
keduanya. Penyesuaian diri terhadap orang lain merupakan suatu usaha untuk
mengerti pendapat dan pandangan orang lain. Kemampuan untuk mengerti tersebut
harus dikomunikasikan kepada orang lain, dengan melibatkan perasaan empati pada
orang lain, kemauan untuk mendengar aktif, dan merespon tanpa disertai adanya
prasangka. Empati adalah mencoba untuk mengerti seseorang dari sudut pandangnya
dan kemudian berusaha untuk menempatkan diri pada diri orang tersebut.
Aspek-aspek intimasi yang diungkapkan
oleh Atwater di atas akan digunakan lebih lanjut dalam penelitian ini, untuk
melihat seberapa baiknya intimasi pelatih dengan atletnya. Aspek-aspek tersebut
adalah: pengungkapan diri, kepercayaan,kecocokan pribadi, dan penyesuaian diri.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intimasi
Calhoen dan Acocella (1990) menjelaskan
bahwa intimasi dengan orang lain dapat terjalin karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
a.
Lamanya hubungan (waktu)
Lamanya hubungan antara dua pribadi
mempengaruhi intimasi diantara keduanya. Semakin lama hubungan yang telah
terjalin maka intimasi akan semakin dapat dikembangkan.
b.
Frekuensi pertemuan
Frekuensi pertemuan menunjukkan seberapa
sering pertemuan interpersonal dilakukan, semakin sering individu bertemu maka
akan semakin mempengaruhi intimasi yang terjalin.
c.
Kesempatan berinteraksi
Kesempatan berinteraksi merupakan usaha
meluangkan waktu untuk dapat berinteraksi secara informal dan santai dengan
orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi intimasi, yaitu: lamanya
hubungan, frekuensi pertemuan, dan kesempatan berinteraksi.
C. Hubungan Antara
Intimasi Pelatih - Atlet dengan Kecemasan Bertanding
Pelatih dan atlet merupakan dua insan
yang berbeda, disatukan dalam dunia keolahragaan dalam mencapai tujuan dan
target dalam permainan. Pelatih adalah seorang yang paling bertanggung jawab
atas penampilan atletnya karena pelatih, selain memberikan teknik-teknik
permainan juga harus mampu memotivasi, memperbaiki citra dan keyakinan diri,
membentuk sikap atlet, serta membantu atlet dalam mengatasi tekanan mental,
kekecewaan dan kecemasan. Semua pembinaan tersebut memiliki tujuan yaitu, agar
atlet yang dibina pelatih tersebut mencapai penampilan puncak Proses pencapaian
tujuan tersebut bukanlah hal yang gampang baik bagi atlet sendiri maupun
pelatih karena perlu waktu dan proses latihan (belajar) dan pembinaan. Selama
proses latihan dan pembinaan ini, pelatih merupakan orang yang paling sering
berinteraksi dengan masing-masing atlet. Interaksi yang sering, merupakan awal
terbentuknya suatu hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal antara
pelatih dengan atlet menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya seorang
pelatih dalam menjalankan tugas-tugasnya. Cox (2002) mengatakan bahwa hubungan
pelatih dan atlet merupakan hal yang amat penting dan menentukan berhasil
tidaknya pelatih meningkatkan prestasi atletnya. Davies (1989) menggambarkan
bahwa pelatih yang sukses adalah pelatih yang mampu menciptakan suatu hubungan
yang hangat, menyenangkan dan perasaan aman serta memberikan perhatian kepada
atletnya.
Hubungan yang hangat dan menyenangkan
akan tercipta apabila ada intimasi dalam hubungan tersebut. Atwater (1983)
menjelaskan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal,
hubungan kehangatan antara dua orang yang mengarah pada keterbukaan pribadi
dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam.
Dengan demikan, diperlukan adanya suatu intimasi pelatih-atlet dalam pembinaan
atlet. Pembinaan atlet tidak hanya terbatas pada aspek fisik saja, tetapi pembinaan
terhadap aspek psikologis juga merupakan hal yang penting. Kecemasan merupakan
salah satu aspek psikologis yang mengganggu penampilan dan sering dihadapi oleh
atlet bila akan menghadapi suatu pertandingan. Kecemasan atlet dalam menghadapi
pertandingan ini diistilahkan dengan kecemasan bertanding.
Ada banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan bertanding seorang atlet. Salah satunya adalah
intimasi dengan pelatih. Lee (1993) mengatakan bahwa intimasi pelatih dengan
atlet dapat menurunkan kecemasan, karena atlet mendapat kesempatan untuk
meceritakan ketakutan dan kecemasannya kepada pelatih.
Intimasi pelatih-atlet didefinisikan
sebagai suatu hubungan timbal balik antara pelatih dengan atlet dalam berbagi
informasi dan pengalaman. Intimasi pelatih dengan atlet juga menunjukkan adanya
keterbukaan dalam pengungkapan diri (self disclosure), kepercayaan, kecocokan
pribadi dan adanya suatu kemampuan untuk berempati dalam mendengarkan dan
merespon ungkapan perasaan sesorang, sebagai usaha untuk penyesuaian diri.
Adanya self disclosure (pengungkapan
diri) atlet dengan pelatih, memberikan perasaan nyaman dan ketenangan kepada
atlet, karena dengan menceritakan semua hal yang menjadi kecemasan kepada pelatih,
beban dan tekanan pertandingan akan berkurang. Jadi, self disclosure dengan
pelatih merupakan suatu sarana untuk menyalurkan tekanan-tekanan yang
dirasakan, perasaan gelisah serta ketakutannya dalam menghadapi pertandingan. Kepercayaan
atlet terhadap pelatih merupakan suatu keyakinannya bahwa pelatih akan dapat
membantunya untuk mengatasi ketakutan dan kecemasannya. Kepercayaan ini juga
didukung oleh sikap yang ditunjukkan pelatih kepada atletnya. Pelatih yang
terbuka, sabar dan perhatian kepada atlet akan menimbulkan ketertarikan bagi
atlet untuk menceritakan permasalahannya kepada pelatih. Timbulnya kepercayaan
kepada pelatih karena pelatih juga menunjukkan sikap penerimaan yang dapat
menimbulkan rasa dihargai dan diperhatikan oleh
pelatihnya,
sehingga dapat meningkatkan rasa perecaya diri atlet. Pate at al (1993) mengatakan
bahwa atlet yang percaya kepada pelatihnya akan merasa nyaman dan percaya diri
untuk bertanding untuk pelatihnya.
Pengungkapan diri (self disclosure)
antara pelatih dan atlet juga memberikan kepada pelatih dan atlet untuk saling
mengenal pribadi masingmasing. Pelatih yang mengenali pribadi masing-masing
atletnya lebih mudah menerapkan gaya kepemimpinannya, sesuai dengan kepribadian
masing-masing atlenya, sehingga atlet menyenangi dan meghargai pelatihnya.
Dengan begitu akan terbentuk suatu hubungan saling pengertian, saling
menghargai dan saling mendukung, sehingga tercipta suatu hubungan yang
harmonis.
Kecocokan pribadi dalam intimasi pelatih
atlet, melibatkan kemampuan untuk menemukan persamaan dan menjadikan perbedaan
sebagai suatu hal yang saling melengkapi. Adanya penyesuaian diri terhadap
orang lain berarti berusaha untuk mengerti pendapat dan pandangan orang lain
dengan melibatkan perasaan empati. Adanya kecocokan pribadi dan penyesuaian
diri dalam hubungan interpersonal pelatih-atlet juga akan membentuk suatu
hubungan yang harmonis, jauh dari konflik serta menimbulkan perasaan
kebersamaan. Kebersamaan akan menimbulkan kekuatan dan semangat dalam diri
atlet untuk menghadapi kecemasan dan ketakutannya menghadapi pertandingan.
Kekuatan dan semangat tersebut akan membantu atlet dalam mengendalikan
kecemasannya.
Kesediaan pelatih dengan penuh empati
untuk mendengarkan keluhan dan ungkapan perasaan serta memberikan respon merupakan
dukungan sosial dan dorongan bagi atlet. Dukungan, dorongan serta
nasehat-nasehat akan memberikan perasaan nyaman dan tenang kepada atlet.
Akhirnya, atlet akan lebih percaya diri dan tenang untuk menghadapi
pertandingan (Pate at al, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditarik suatu simpulan bahwa adanya intimasi pelatih dengan atlet dapat
membantu atlet dalam mengendalikan dan menurunkan kecemasannya dalam menghadapi
pertandingan. Intimasi pelatihatlet memberikan kesempatan untuk mengungkapkan
(self disclosure) ketakutan dan kecemasannya dalam menghadapi pertandingan,
memberikan perasaan nyaman dan tenang dalam menghadapi pertandingan, membantu
atlet dalam memperoleh dukungan sosial, menciptakan peran pelatih sebagai
motivator dan fasilitator bagi atlet dan bukan sebagai tekanan pertandingan.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas,
maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian
ini adalah “ ada hubungan negatif antara intimasi pelatih-atlet dengan
kecemasan
bertanding, dimana semakin baik intimasi pelatih dengan atletnya
maka
tingkat kecemasan bertanding atlet akan semakin rendah.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Identifikasi
Variabel Penelitian
Variabel
yang akan diperhitungkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Variabel Prediktor : Intimasi Pelatih-Atlet
2.
Variabel Kriterium : Kecemasan Bertanding
B. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Intimasi Pelatih-Atlet
Intimasi pelatih-atlet adalah persepsi
atlet mengenai kehangatan hubungan yang bersifat informal dengan pelatihnya,
dalam berbagi pikiran, informasi, pengalaman dan perasaan terdalam, dalam
batas-batas untuk perkembangan dan kemajuan atlet. Intimasi pelatih-atlet
diukur dengan menggunakan aspek-aspek intimasi, yaitu: pengungkapan diri,
kepercayaan, kecocokan pribadi dan penyesuaian diri yang merupakan teori dari
Atwater (1983). Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini mengungkap baik atau tidaknya
intimasi antara pelatih dengan atletnya, dalam persepsi atlet. Semakin tinggi
skor yang didapat, maka intimasi atlet terhadap pelatih semakin baik, maka
semakin dekat pula hubungan antara pelatih dengan atletnya.
2.
Kecemasan Bertanding
Kecemasan
bertanding adalah reaksi emosi negatif terhadap keadaan tegang dalam wujud
perasaan gelisah dan khawatir mengenai hal yang tidak dikehendaki, belum tentu
terjadi dalam pertandingan, ditunjukkan oleh atlet berupa gejala-gejala fisik
dan psikis, sebelum atlet tersebut bertanding. Kecemasan muncul dari
interpretasi negatif atlet dalam mempersepsi situasi pertandingan yang akan
dihadapinya, meliputi persepsi mengenai hasil pertandingan dan seberapa penting
pertandingan tersebut bagi atlet. Kecemasan bertanding diungkap dengan
menggunakan Skala Kecemasan Bertanding yang disusun oleh peneliti berdasarkan
gejala-gejala kecemasan pada atlet dalam menghadapi pertandingan, yang telah
dikelompokkan menjadi dua gejala, yaitu: gejala fisik dan gejala psikis.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama
data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang
diteliti. Apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih dalam jangkauan
sumber daya, maka dapat dilakukan studi populasi yaitu mempelajari seluruh
subjek secara langsung (Azwar, 1998).
Subjek
penelitian dalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut :
1.
Atlet pencak silat tanding IPSI Semarang. Atlet pencak silat tersebut dapat bergabung
dalam pembinaan IPSI karena lulus seleksi yang diadakan oleh IPSI dan berprestasi
dalam kejuaraan yang diadakan di tingkat Jawa Tengah.
2.
Atlet berada dalam usia sekolah menengah (16-18 tahun).
3.
Atlet memiliki kecenderungan yang rendah pada trait-A.
Trait-A
dijadikan sebagai suatu kriteria subjek penelitian karena trait-A memiliki
pengaruh terhadap respon atau reaksi kecemasan (state-A) atlet dalam menghadapi
pertandingan (Hardy, 1999)
4.
Atlet pernah menjalani training center
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dengan menggunakan metode skala psikologi dan penggunaan angket. Skala
psikologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Skala Kecemasan Bertanding
Skala ini digunakan untuk mengukur
tingkat kecemasan bertanding seorang atlet. Tingkat kecemasan bertanding
diungkap melalui gejala-gejala kecemasan yang dialami atlet dalam menghadapi
pertandingan. gejala-gejala tersebut dikelompokkan ke dalam dua gejala yaitu:
gejala fisik dan gejala psikis.
a.
Gejala-gejala fisik merupakan gejala gangguan pada sistem kerja fisiologis tubuh
dan terjadinya perubahan tingkah laku pada atlet, meliputi: gelisah, sering
menggaruk-garuk kepala, sering jalan mondar-mandir, jantung berdebar keras,
sering ingin buang air kecil, berkeringat dingin, gemetar, badan terasa lesu,
perubahan irama pernapasan dan otot-otot terasa tegang.
b.
Gejala-gejala psikis, antara lain: terjadinya gangguan perhatian dan konsentrasi,
perubahan emosi, menurunnya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan cepat
merasa putus asa. Skala Kecemasan Bertanding ini terdiri dari 56 aitem dengan perbandingan
proporsional bobot pada dua gejala dalam skala ini adalah sama. Azwar (2002)
menyatakan bahwa apabila tidak diperoleh alasan untuk menganggap adanya
sebagian aspek yang lebih signifikan dari aspek lainnya, maka semua aspek lebih
baik diberi bobot yang sama. Susunan dan jumlah aitem skala dapat dilihat pada
tabel 1 berikut:
Tabel.
1
Blue
Print Skala Kecemasan Bertanding
2.
Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini
digunakan untuk mengungkap baik atau tidaknya intimasi pelatih dengan atlet.
Skala ini mengandung empat aspek yang akan diungkap berdasarkan aspek-aspek
yang telah dikemukakan oleh Atwater (1983). Skala Intimasi Pelatih-Atlet ini
mengungkap :
a.
Pengungkapan diri
Pengungkapan diri yaitu suatu kesanggupan
untuk membuka diri dengan orang lain dalam mengungkapkan perasaan, persepsi dan
ketakutan.
Pengungkapan
diri ditunjang oleh adanya:
Aitem
No.
Gejala
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1.
Fisik 23 5 28 50%
2.
Psikis 20 8 28 50%
Total
43 13 56 100%
1)
Timbal balik
Pengungkapan diri ini akan semakin
meningkat saat tiap individu saling membuka diri dan saling meminta informasi
tentang masing-masing pihak. Timbal balik juga didukung oleh tanggapan
(responsiveness) dari orang lain misal dengan memberi pengertian, perhatian dan
dukungan sepenuhnya.
2)
Ketertarikan
Orang mau mengungkapkan perasaan atau
berbagi pengalaman dan informasi karena adanya ketertarikannya kepada orang
lain.
b.
Kepercayaan
Kemampuan untuk menumbuhkan keyakinan
kepada orang lain mengenai kejujuran, kebaikan serta keterbukaan yang diberikan
oleh individu lain kepada dirinya, dan sebaliknya.
c.
Kecocokan pribadi
Kemampuan untuk menjalin suatu hubungan
dengan melihat persamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam hubungan
tersebut. Persamaan itu antara lain: persamaan latar belakang, budaya sosial
dan pendidikan, minat, temperamen, dan nilai-nilai. Kecocokan pribadi juga
diartikan sebagai keinginan untuk menjadikan perbedaan sebagai pelengkap, bukan
sebagai sumber konflik.
d.
Penyesuaian diri
Penyesuaian diri terhadap orang lain
merupakan suatu kemampuan untuk mengerti pendapat dan pandangan orang lain.
Kemampuan untuk mengerti tersebut harus dikomunikasikan kepada orang lain,
dengan melibatkan perasaan empati pada orang lain, kemauan untuk mendengar
aktif, dan merespon tanpa disertai adanya prasangka. Skala Intimasi
Pelatih-Atlet ini terdiri dari 50 aitem dengan perbandingan proporsional bobot
pada empak aspek dalam skala ini tidak sama. Aspek pengungkapan diri (self
disclosure) memiliki bobot yang lebih banyak dibandingkan dengan tiga aspek
lainnya. Pemberian bobot lebih pada aspek ini berdasarkan pada pendapatnya
Atwater (1983), yang mengatakan bahwa self disclosure merupakan pusat intimasi
serta adanya dua aspek yang menunjang self disclosure, yaitu timbal balik dan
ketertarikan. Susunan dan jumlah aitem skala dapat dilihat pada tabel 2
berikut:
Tabel.
2
Blue
Print Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala
Kecemasan Bertanding dan Skala Intimasi Pelatih-Atlet disiusun
atas
dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan favourable dan unfavourable.
Penyusunan
kedua skala menggunakan skala Likert. Subjek diminta untuk
Aitem
No.
Dimensi
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1.
Pengungkapan diri 10 10 20 40%
2.
Kepercayaan 5 5 10 20%
3.
Kecocokan pribadi 5 5 10 20%
4.
Penyesuaian diri 5 5 10 20%
Total
25 25 50 100%
menyatakan
sejauhmana pernyataan-pernyataan dalam skala sesuai atau tidak
sesuai
dengan keadaan dirinya.
Cara penyekoran skala ini disesuaikan
dengan jenis pernyataan. Setiap pernyataan memiliki lima alternatif jawaban
yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat Menentukan (N), Tidak Sesuai
(TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pada pernyataan favourable, jawaban Sangat
Sesuai bernilai 4, Sesuai bernilai 3, Tidak dapat Menentukan bernilai 2, Tidak
Sesuai bernilai 1 dan Sangat Tidak Sesuai bernilai 0. Sebaliknya, pada
pernyataan unfavourable, jawaban Sangat Sesuai bernilai 0, Tidak Sesuai
bernilai 1, Tidak dapat Menentukan bernilai 2, Tidak Sesuai bernilai 3 dan
Sangat Tidak Sesuai bernilai 4. Angket yang digunakan dalam penelitian adalah
Angket Kecemasan Bertanding (State-A dan Trait-A). Angket ini bertujuan untuk
mendapatkan subjek yang homogen dari kecenderungan cemas (trait-A). Penyusunan
aitem pada angket ini berdasarkan pada dua puluh kondisi yang dialami atlet
pada situasi yang menimbulkan kecemasan dari Cox (2002). Pada angket ini
terdapat dua kolom, yaitu kolom (1) akan menghadapi pertandingan dan kolom (2)
situasi lain. Setiap kolom berisi dua option “Ya” dan “Tidak”. Atlet diminta
untuk merespon dengan memberikan tanda ceklist (_) pada salah satu option di
setiap kolom. Penyekoran diberikan dengan Ya bernilai 1 dan Tidak bernilai 0.
Format angket secara lebih jelas, dapat dilihat pada lampiran G.
E. Validitas, Daya Beda
Aitem dan Reliabilitas
Pada kedua skala ini akan dilakukan uji
coba sebelum digunakan dalam penelitian. Uji coba skala ini dilakukan untuk
mengukur kualitas aitem pada kedua skala, yang dilakukan dengan menggunakan uji
korelasi aitem total (uji daya beda aitem), reliabilitas dan validitas.
1.
Validitas
Validitas adalah sejauhmana ketepatan
dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Pengujian
validitas dapat dilakukan dengan validitas isi, yakni validitas yang diestimasi
lewat pengujian terhadap isi tes berdasarkan analisis rasional atau profesional
judgment. Pengujian validitas berdasarkan profesional judgment maksudnya adalah
menemukan jawaban sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan
isi objek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut
yang hendak diukur (Azwar, 1997)
2.
Daya Beda Aitem
Pengujian daya beda aitem dilakukan
dengan uji korelasi aitem total. Uji korelasi aitem total adalah uji
konsistensi antara aitem dengan tes secara keseluruhan. Korelasi aitem total
dilakukan untuk memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya sesuai dengan fungsi
ukur yang dikehendaki. Daya beda aitem menunjukkan sejauh mana aitem mampu
membedakan antara kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang
diukur. Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem dengan
skor totalnya (Azwar, 2002). Koefisien korelasi antara aitem dengan skor
totalnya haruslah signifikan dan untuk memperoleh skor totalnya tersebut
digunakan teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson (Azwar, 1997),
dengan rumus
sebagai
berikut:
rix=
Keterangan
: i = Skor responden pada pernyataan tertentu
X
= Skor responden pada setiap skala
n
= Banyaknya responden keseluruhan
Semakin
tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total berarti
semakin
tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh,
yang
berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah
mendekati
nol berarti fungsi sitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur tes dan
daya
bedanya tidak baik. Bila korelasi berharga negatif berarti terdapat cacat
serius
pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 1997).
3.
Reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauhmana hasil
suatu pengukuran dapat dipercaya atau diandalkan (Azwar, 1997). Selanjutnya,
Azwar (2002) menjelaskan bahwa suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat
ukur tersebut dalam beberapa kali pengukuran terhadap subjek yang sama mampu
memberikan hasil yang relatif sama, dengan catatan aspek yang diukur dalam diri
subjek memang belum berubah.
_
_ _ _
_
_ _
−
− )
n
(
X) )
)(
X )
n
(
i)
(
i
n
(
i) ( X)
iX
-
2
2
2
2
Pengujian
reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan
konsistensi internal dengan teknik komputasi Alpha Cronbach (_ ).
Alasan
penggunaan Alpha Cronbach ini adalah hasilnya lebih cermat dan dapat
mendekati
hasil sebenarnya (Azwar, 2002). Dalam formula Alpha Cronbach data
dibelah
sebanyak jumlah aitemnya, dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan
: _ = Koefisien reliabilitas Alpha
k
= Banyaknya belahan
s2
j
=
Varians skor belahan
s2
x
= Varians skor total
F. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan
adalah metode statistik karena metode ini merupakan metode ilmiah untuk
mengumpulkan, menyusun, menyajikan serta menganalisis data penelitian yang
berwujud angka dan metode statistik dapat memberikan hasil yang objektif. Hal
ini merupakan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencari kesimpulan
yang benar (Hadi, 1993). Seluruh komputasi dalam penelitian dilakukan dengan bantuan
program komputer Statistical Packages for Social Science (SPSS) versi 12.0.
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Regresi
Sederhana.
_
_
_
_
_
−
−
=
_
x
j
s
s
k
k
2
2
1
1
BAB IV
PELAKSANAAN DAN
HASIL PENELITIAN
A. Prosedur dan
Pelaksanaan Penelitian
1.
Orientasi Kancah Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, terlebih
dahulu dilakukan orientasi kancah penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui
lokasi dan situasi penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan survei awal
ke Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Semarang sebagai langkah awal dalam
penelitian ini. IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) merupakan suatu organisasi
pencak silat yang mengayomi perguruan-perguruan silat di seluruh nusantara.
Awal berdirinya, pada tanggal 18 Mei 1940 dinamakan dengan Ikatan Pencak
Seluruh Indonesia. Akhirnya setelah 25 tahun berdiri, Ikatan Pencak Seluruh
Indonesia berganti menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia, sampai sekarang.
Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk mengembangkan pencak silat,
tidak hanya sebagai ekspresi budaya bangsa, tetapi menjadi suatu olahraga yang
dapat dipertandingkan. Adanya tantangan bela diri dari luar, seperti karate dan
judo memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam
usaha mengembangkan pencak silat olahraga. Oleh karena itu, dibentuk satu
komisi teknis khusus untuk merencanakan sebuah paket pencak silat olahraga
untuk dipertandingkan. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya IPSI
berhasil memasuki pencak silat sebagai cabang olahraga prestasi pada PON VIII,
yang diselenggarakan pada tanggal 4-15 Agustus 1973 di Jakarta. Berkat kerja
keras pengurus IPSI serta adanya dukungan dari pemerintah, IPSI cepat menyebar
luas di dalam maupun ke luar negeri. Pada tahun 1970-an
IPSI
mendirikan cabang di tiap wilayah. Tujuannya adalah untuk mengorganisir even-even
pencak silat olahraga dan seni pada tingkat kabupaten, propinsi dan nasional.
Dengan demikian, IPSI sebagai organisasi yang berskala nasional memiliki
program untuk mengaktifkan semua seluruh bagian organisasi dari pusat sampai
daerah. Program pembinaan berjenjang ini memiliki tujuan untuk dapat menjaring
atlet-atlet daerah yang berpotensi dan berprestasi baik Daerah Jawa Tengah juga
memiliki organisasi pencak silat (IPSI Jateng).
IPSI Jawa Tengah sendiri, juga memiliki
program pembinaan atlet yang berjenjang. Program ini bertujuan agar pembinaan
atlet lebih terorganisasi dan dapat mewakili seluruh perguruan yang ada di
daerah Jawa Tengah. Selain itu, program pembinaan di daerah ini dilakukan untuk
menemukan atlet-atlet daerah yang unggul, sehingga mampu berlaga di tingkat
propinsi dan tingkat nasional. Oleh karena itu, dalam menjalankan program
tersebut IPSI Jateng memiliki beberapa IPSI cabang. Salah satu cabangnya
terdapat di daerah Semarang (IPSI Semarang). IPSI Semarang merupakan organisasi
silat yang mengayomi beberapa aliran silat yang ada di daerah Semarang, di
antaranya Naga Hitam, SH Teratai, Tapak Suci, Perisai Diri, Merpati Putih,
Persatuan Hati dan BDI. Organisasi ini berwenang dalam menjaring, membina dan
mencetak atlet-atlet daerah Semarang yang berpotensi dan berprestasi baik.
Penjaringan dan pembinaan atlet ini dimaksudkan untuk mendapatkan bibit atlet
yang unggul di daerah Semarang. Atlet-atlet yang terpilih diharapkan mampu
berlaga dan mengukir prestasi pada kejuaraan tingkat Jawa Tengah dan nasional.
Pada saat ini, IPSI Semarang diketuai
oleh Totok Iswidaryanto. Terkait dengan pembinaan prestasi olahraga pencak
silat, Ketua Umum bertugas untuk merumuskan kebijakan umum di bidang pembinaan
dan pengembangan pencak silat, serta mengkoordinasi penyelenggaraan pembinaan
dan pengembangan kegiatan olahraga prestasi pencak silat, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh anggota. Ketua Umum bertanggung jawab pada KONI kota dalam
melaksanakan semua tugas-tugasnya.
Ketua umum juga dibantu oleh tiga orang
wakil ketua yaitu Wakil Ketua Bidang Organisasi dipegang oleh C. Dayat, Bidang
Dana/Prasarana oleh Pudjiono dan Bidang Litbang oleh Endro Pudji; dua orang
sekretaris, yaitu Sekretaris Umum oleh Sigid widiyanto dan sekretaris dua oleh
Ari Nuryant; dua orang bendahara yaitu Bendahara I dipegang oleh Suwanto dan
bendahara dua oleh Agus. Kemudian, dalam tubuh IPSI Semarang juga terdapat biro
atau lembaga yang langsung berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan
prestasi olahraga pencak silat Semarang. Biro atau lembaga tersebut antara lain
Lembaga Pembinaan Prestasi, Lembanga Pembina Seni Budaya Pencak Silat, Biro
Wasit- Juri, dan Biro Pelatih. Bidang Litbang (Penelitian dan Pengembangan)
bertugas mengkoordinasi dan menyusun rancangan program kerja IPSI dalam bidang
penelitian dan pengembangan serta mengkoordinasi penyusunan laporan bidang
penelitian pengembangan secara periodik. Selanjutnya, Bidang pembinaan prestasi
bertugas untuk mengkoordinasi penyusunan rancangan program kerja IPSI dalam
bidang pembinaan prestasi, mengkoordinasi pembinaan dan pengawasan setiap
kegiatan atau event dalam rangka peningkatan prestasi dan memberikan pengarahan
di bidang pembinaan prestasi pada setiap event yang dilaksanakan. Semua biro
yang berada dalam tubuh IPSI Semarang bekerjasama dalam melakukan pembinaan prestasi
atlet.
Sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya,
bidang pembinaan prestasi, selain menyusun program untuk pembinaan potensi
atlet juga menyusun program pembinaan dan peningkatan potensi pelatih dalam
melakukan pembinaan terhadap atlet. Salah satu programnya yang telah dijalankan
adalah memberikan pelatihanpelatihan kepada pelatih pencak silat. Pelatihan
tersebut memberikan pengetahuan kepada pelatih seputar perkembangan fisik dan
psikologis atlet, pengelolaan prestasi atlet serta program peningkatan
keakraban pelatih-atlet. Salah satu program yang telah dijalankan dalam rangka
meningkatkan keakraban pelatihatlet adalah dengan melaksanakan rekreasi keluar
minimal sekali dalam seminggu.
Perjalanan prestasi atlet IPSI Semarang
sempat mengalami kemunduran pada tahun-tahun sebelumnya. Kemunduran ini
disebabkan karena kevakuman dalam kepengurusan dan pembinaan pada IPSI Semarang
sendiri. Pada tahuntahun tersebut juara umum di beberapa kejuaraan lebih
dikuasai oleh atlet dari IPSI cabang daerah lain, yaitu IPSI Solo. Akan tetapi,
semenjak lima tahun terakhir ini IPSI Semarang sudah mulai bangkit kembali.
Kebangkitan itu dapat dilihat dari prestasi di beberapa event. Pada Kejurnas
Remaja 2000, Invitasi Pencak Silat Jawa Bali 2001 dan Invitasi Pencak Silat
se-Jawa Bali tahun 2001, berhasil meraih medali emas. Atlet yang bergabung
dalam IPSI Semarang adalah atlet-atlet terpilih dan berprestasi baik pada
kejuaraan tingkat Jawa Tengah. Atlet tersebut diseleksi melalui berbagai
pertandingan antar perguruan se-Semarang, yang diadakan oleh para pengelola dan
pembina IPSI Semarang. Pertandingan-pertandingan tersebut dimaksudkan agar para
pembina dan pengelola dapat menjaring atlet yang berbakat dan berpotensi baik
untuk dapat dibina di bawah binaan pengurus IPSI Semarang.
Atlet yang telah terpilih ini, juga
memiliki kebebasan untuk mengikuti pertandingan yang diadakan oleh perguruan
mereka masing-masing, baik di tingkat Jawa Tengah maupun nasional. Akan tetapi,
apabila ada POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah) dan PORDA (Pekan Olahraga
daerah) dan pertandingan-pertandingan yang mewakili IPSI Semarang atau Kejuaran
Daerah (KEJURDA), tidak semua atlet yang akan diturunkan. Atlet yang akan
diturunkan adalah atlet yang telah lulus seleksi. Penyeleksian dilakukan dengan
mengadakan beberapa kali pertandingan. Atlet yang meraih juara satu dan juara
dua pada masing-masing nomor yang akan dipertandingkan, adalah atlet yang
diturunkan untuk berlaga mewakili daerah Semarang.
Atlet
yang diturunkan ini, akan menjalani training center. Training center ini
biasanya dilaksanakan tiga bulan sebelum pertandingan diselenggarakan. Pada training
center atlet akan dilatih oleh tim pelatih yang terdiri dari tiga orang pelatih.
Pelatih ini merupakan pelatih yang telah diseleksi oleh biro pelatih. Pelatih
yang telah terpilih bertugas untuk melaksanakan program-program, yang telah
disusun oleh bidang pembinaan prestasi atlet untuk periode tersebut. Tim ini terdiri
dari tiga orang pelatih yaitu pelatih teknik, pelatih fisik dan pelatih
strategi menyerang dan bertahan. Atlet yang telah terpilih akan dilatih dengan
jurus-jurus baku dari IPSI dan harus bisa menyesuaikan dengan jurus-jurus
khusus, yang didapatkan di perguruan mereka masing-masing. Jurus baku ini
merupakan jurus standar yang digunakan senbagai standar peniliaian dalam
pertandingan. Selama menjalani training center, atlet harus menerapkan disiplin
yang telah ditetapkan pelatih dan pembina. Atlet yang telah terpilih sebagai
tim yang diturunkan untuk mewakili IPSI Semarang harus mengikuti latihan secara
rutin setiap hari. Apabila selama periode latihan, tidak datang atau tidak
hadir dalam latihan sebanyak tiga kali, tanpa alasan yang jelas maka pelatih
bertugas memberikan laporan kepada pembina. Kemudian pembina memberikan surat peringatan
pertama kepada atlet tersebut. Apabila atlet tidak memberikan respon yang baik
terhadap surat tersebut, maka diberi surat peringatan yang kedua.
Setelah diberi surat peringatan yang
kedua dan tidak ada respon yang baik dari
atlet,
maka atlet tersebut akan dikeluarkan dari tim. Setelah kejuaraan berakhir,
atlet-atlet ini diberi kebebasan untuk bergabung dengan perguruan mereka masing-masing.
Mereka kembali dilatih dan dibina oleh perguruan mereka masing-masing. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan dana untuk pembinaan atlet-atlet tersebut. IPSI
Semarang sendiri memiliki padepokan tetapi sampai sekarang padepokan tersebut
tidak terurus, akibat dari kurangnya dana tersebut.
Di luar training center, atlet ini di
bawah binaan pelatih Sigid, yang sekaligus juga merangkap sebagai Sekretaris
Umum IPSI Semarang. Pelatih dibantu oleh dua orang asistennya dalam memberikan
latihan. Latihan dilakukan secara rutin, yaitu dua kali seminggu pada hari
Senin dan Kamis. Selain hari ini, atlet tersebut latihan di perguruan mereka
masing-masing. Pada hari Senin dan Kamis, mereka latihan di Kediaman
pelatihnya, yang sekaligus merupakan sekretariat IPSI Semarang. Latihan
dilaksanakan pada malam hari selama dua jam, dimulai pukul 19.00 WIB sampai
dengan pukul 21.00 WIB. Latihan terbagi menjadi tiga yaitu latihan fisik,
latihan teknik dan latihan tarung. Urutan latihannya dalam setiap kali latihan
adalah latihan fisik dilakukan selama setengah jam, latihan teknik setengah jam
dan latihan tarung juga setengah jam. Setengah jam yang tersisa dijadikan
sebagai momen untuk keakraban antara pelatih dengan atlet.
Momen keakraban ini merupakan salah satu
cara pendekatan pelatih dengan setiap atletnya, yang digunakan sebagai ajang
diskusi antara pelatih dan atlet, baik pada latihan biasanya maupun pada waktu
training center. Pada training center, terkadang juga ada pengurus yang datang
mengunjungi dan melihat latihan dan persiapan atlet menghadapi pertandingan.
Pada momen ini mereka lebih banyak mendiskusikan masalah latihan, teknik dan
strategi bertanding serta kelemahan dan kekurangan mereka dalam bertanding.
Mereka
duduk
berkeliling dan pelatih berada di tengah-tengah mereka. Waktu setengah jam
terakhir ini, bagi pelatih juga dimanfaatkan sebagai ajang saling mengenal masing-masing
atletnya.
Pemilihan
tempat penelitian didasarkan pada pertimbangan :
1.
IPSI Semarang merupakan organisasi silat daerah Semarang yang memiliki tujuan
untuk menfasilitasi dan melakukan pembinaan terhadap atlet daerah Semarang
menjadi atlet nasional.
2.
IPSI Semarang memiliki atlet yang cukup banyak dan atlet yang tergabung didalamnya
mempunyai frekuensi bertanding keluar cukup besar.
3.
Atlet yang tergabung adalah atlet yang berpotensi dan berprestasi baik, yang telah
lulus seleksi dan berprestasi di tingkat Jawa Tengah.
4.
Penelitian mengenai hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding
belum pernah dilakukan.
5.
Adanya ijin untuk melakukan penelitian dari pihak IPSI Semarang.
2.
Persiapan Penelitian
Persiapan
penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan dengan lancar dan sesuai
dengan harapan. Persiapan penelitian ini meliputi: pengajuan ijin penelitian
kepada pihak Pengurus Cabang IPSI Semarang dan penyusunan skala yang akan
digunakan dalam penelitian. Skala disusun untuk mengukur variabel kecemasan
bertanding dan intimasi pelatih-atlet. Setelah kedua skala tersebut disusun,
dilakukan uji coba skala, analisis daya beda aitem, dan menguji reabilitas skala
tersebut serta menyusun kembali skala pasca uji coba. Skala hasil uji coba ini
akan digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Peneliti mengajukan surat
ijin penelitian kepada Pengurus Cabang IPSI Semarang pada tanggal l8 September
2006 dengan nomor 1148/J07.1.1.16/AK/2006. Setelah ijin disetujui, maka
peneliti dan pihak IPSI Semarang bersamasama menentukan jadual uji coba skala
dan jadual penelitian. Jarak waktu pengajuan surat ijin dengan dilakukan uji
coba cukup lama. Hal ini disebabkan karena sulitnya menemukan waktu untuk
dilakukannya uji coba dan kesulitan dalam mengumpulkan atlet. Kesulitan
tersebut disebabkan karena adanya beberapa pertandingan yang harus diikuti oleh
atlet.
Setelah melalui proses mufakat yang
panjang dengan pelatih, akhirnya jadual uji coba skala ditetapkan pada hari
Selasa tanggal 3 Oktober 2006. Uji coba dilaksanakan pada sore hari, dimulai
pada pukul 16.30 WIB sampai pukul 17.15 WIB di SMU 15 Semarang. SMU 15 Semarang
dijadikan sebagai tempat yang dipilih untuk melaksanakan penelitian, karena
merupakan tempat yang dirasa strategis oleh peneliti untuk melaksanakan
penelitian. Selain itu, pelatih juga menyarankan dan mengijinkan untuk
melakukan penelitian di SMU 15, karena pelatihnya sendiri juga merupakan
pengajar olahraga di SMU tersebut.
Semua atlet diikutkan pada uji coba
kedua skala ini. Informasi mengenai jumlah dan dalam mengumpulkan atlet,
peneliti minta bantuan kepada pelatih. Atlet tersebut dikumpulkan di SMU 15
Semarang. Atlet yang diikutkan dalam penelitian ini sebanyak 46 orang.
Pengambilan data dilakukan secara klasikal.
Pada uji coba kedua skala ini, peneliti
dibantu oleh asisten pelatih. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu skala kecemasan bertanding dan skala intimasi pelatih-atlet. Kedua skala
ini merupakan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian, sebagai berikut:
a.
Skala Kecemasan Bertanding
Skala ini disusun untuk mengukur tingkat
kecemasan bertanding atlet, yang disusun berdasarkan pada model skala likert.
Penyusunan aitem-aitem dalam skala ini berdasarkan pada gejala-gejala kecemasan
bertanding. Gejala-gejala tersebut dibagi ke dalam dua gejala, yaitu gejala
fisik dan gejala psikis. Skala ini terdiri dari 56 aitem pernyataan yang
mewakili gejala kecemasan bertanding, yaitu: gejala fisik dan gejala psikis.
Subjek diminta untuk merespon salah satu pilihan jawaban yang sesuai dengan
keadaannya. Pilihan jawaban pada skala kecemasan bertanding ini adalah SS
(Sangat Sesuai), S (Sesuai), N (tidak dapat menetukan), TS (Tidak Sesuai), dan
STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai bergerak dari nol sampai empat. Semakin tinggi
skor maka semakin tinggi tingkat kecemasan bertanding atlet tersebut. Komposisi
dan sebaran aitem untuk masing-masing gejala dapat dilihat
pada
tabel-tabel berikut:
Tabel.
3
Distribusi
Aitem Skala Kecemasan Bertanding
Aitem
No.
Gejala
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1.
Fisik
1,
2, 5, 9, 10, 14, 17,
18,
22, 25, 26, 30, 33,
34,
37, 41, 42, 45, 46,
49,
50, 53, 54
6,13,
21, 29,
38
28
50%
2.
Psikis
3,
4, 8, 11, 12, 15, 19,
20,
27, 28, 31, 35, 36,
39,
40, 43, 44, 51, 52,
56
7,
16, 23, 24,
32,
47, 48, 55
28
50%
Total
28 28 56 100%
b.
Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Skala ini disusun berdasarkan
aspek-aspek intimasi yang mengacu pada keintiman verbal, meliputi pengungkapan
diri, kepercayaan, kecocokan pribadi dan penyesuaian diri. Penyusunan skala ini
berdasarkan pada skala likert dengan lima pilihan jawaban, yaitu: SS (Sangat
Sesuai), S (Sesuai), N (tidak dapat menentukan), TS (Tidak Sesuai), dan STS
(Sangat Tidak Sesuai). Nilai bergerak dari nol sampai empat. Semakin tinggi
skor maka semakin baik intimasi pelatih dengan atlet.
Komposisi
dan sebaran aitem untuk masing-masing gejala dapat dilihat
pada
tabel-tabel berikut:
Tabel.
4
Distribusi
Aitem Skala Intimasi Pelatih-Atlet
Uji
coba dilakukan untuk mengetahui indeks daya beda aitem masingmasing
skala
dan keterpercayaan alat ukur. Setelah kedua skala diujicobakan,
maka
dapat ditentukan aitem yang valid dan yang gugur dengan menggunakan
Aitem
No.
Dimensi
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1.
Pengungkapan diri
1,
2, 11, 12,
21,
23, 31, 33,
41,
42
6,
7, 16, 18,
26,
28, 36, 38,
46,
47
20
40%
2.
Kepercayaan
3,
13, 22, 32,
43,
8,
17, 27, 37,
48
10
20%
3.
Kecocokan pribadi
4,
14, 24, 34,
44,
9,
19, 29, 39,
49
10
20%
4.
Penyesuaian diri
5,
15, 25, 35,
45
10,
20, 30, 40,
50
10
20%
Total
25 25 50 100%
bantuan
program komputer SPSS versi 12.0. Berikut penghitungan daya beda
aitem
dan reliabilitas kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini.
a.
Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Kecemasan Bertanding pada Uji Coba
Batas daya beda yang digunakan pada
skala kecemasan bertanding ini berdasarkan kesepakatan umum oleh para ahli,
yaitu O 0,3. Menurut Azwar (2002) aitem yang mencapai koefisien korelasi
minimum 0,3 dipandang mempunyai daya beda yang memuaskan. Dengan demikian,
batasan daya beda aitem yang digunakan pada skala kecemasan bertanding ini
adalah O 0,3. Skala kecemasan bertanding terdiri dari 56 aitem. Berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan tersebut, didapatkan indeks daya beda skala
ini berkisar antara -0,25 sampai dengan 0,767 dengan reliabilitasnya sebesar
0,951. Keterangan indeks daya beda dan reliabilitas skala kecemasan bertanding
dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel
5. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas
Skala
Kecemasan Bertanding
Skala
Rix
Min
Rix
Max
Koefisien
reliabilitas
Kecemasan
Bertanding -0,25 0,767 0,951
Setelah
dianalisis, dilakukan penyeleksian aitem. Berdasarkan hasil seleksi
terhadap
aitem-aitem pada skala kecemasan bertanding ini, didapatkan 47 aitem
yang
valid dan 9 aitem gugur. Aitem-aitem tersebut gugur karena memiliki
koefisien
korelasi daya beda rendah, yaitu di bawah 0,3 (rix < 0,3). Selengkapnya,
aitem
yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel
6. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur
Skala
Kecemasan Bertanding
Nomor
Gejala Aitem Jumlah
Valid
Gugur Valid Gugur
Total
Fisik
2, 5, 6, 9, 13,
14,
17, 18, 21,
22,
25, 26, 34,
38,
41, 42, 45,
46,
50, 53, 54
1,
10, 29, 30,
33,
37, 49,
21
7 28
Psikis
3, 4, 7, 8, 11,
12,
15, 16, 19,
20,
23, 24, 27,
28,
31, 32, 35,
36,
39, 40, 44,
47,
48, 51, 55,
56
43,
52 26 2 28
Total
47 9 56
Menurut Azwar (2002) suatu alat ukur
dapat dinyatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila koefisien
reliabilitas alat ukur tersebut semakin mendekati angka 1,00. Perhitungan
reliabilitas alat ukur menunjukkan koefisien korelasi 0,951. Dengan demikian,
Skala Kecemasan Bertanding handal, sehingga aitem-aitem pada alat ukur ini
dapat digunakan untuk penelitian dan disusun kembali seperti pada tabel 7
berikut.
Tabel
7. Distribusi Aitem Valid Skala Kecemasan Bertanding
No.
Gejala Nomor Aitem
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1
Fisik 2, (4) 5 (3) , 9 (8),
14
(12), 17 (15),
18
(16), 22 (20),
25
(23), 26 (24),
34
(29), 41 (35),
42
(36), 45 (38),
46
(39), 50 (42),
53
(44), 54 (45)
6
(5), 13 (11),
21
(19), 38 (32),
21
44,
68%
2
Psikis 3 (1), 4 (2), 8 (7),
11
(9), 12 (10),
15
(13), 19 (17),
20
(18), 27 (25),
28
(26), 31 (27),
35
(30), 36 (31),
39
(33), 40 (34),
44
(37), 51 (43),
56
(47)
7
(6), 16 (14),
23
(21), 24 (22),
32
(28), 47 (40),
48
(41), 55 (46)
26
55,
32%
Total
35 12 47 100%
Ket
: Tanda (...) dan ditebalkan adalah nomor baru untuk aitem yang valid
b.
Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Intimasi Pelatih - Atlet pada Uji
Coba
Skala
intimasi pelatih–atlet terdiri dari 50 aitem. Skala ini memiliki indeks
daya
berkisar antara -0,15 sampai dengan 0,754. Penghitungan terhadap
reliabilitas,
didapatkan koefisien reliabilitasnya adalah 0,954. Ringkasannya,
dapat
dilihat pada tabel 8 berikut.
Tabel
8. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas
Skala
Intimasi Pelatih - Atlet
Skala
Rix
Min
Rix
Max
Koefisien
reliabilitas
Intimasi
Pelatih – Atlet -0,15 0,754 0,954
Setelah
keseluruhan aitem dianalisis, selanjutnya akan dilakukan seleksi
terhadap
aitem-aitem tersebut. Batas daya beda yang digunakan pada skala
intimasi
pelatih – atlet ini adalah O 0,3 (rix O 0,3). Aitem yang memiliki koefisien
korelasi
di bawah 0,3 dinyatakan sebagai aitem yang tidak valid. Dengan
demikian,
dari hasil analisis terhadap aitem-aitem, didapatkan 42 aitem valid dan
8
aitem gugur. Lebih jelasnya, aitem valid dan gugur dapat dilihatnya pada tabel
9
berikut.
Tabel
9. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur
Skala
Intimasi Pelatih - Atlet
Aitem
Jumlah
Dimensi
Valid
Gugur Valid Gugur
Total
Pengungkapan
diri
1,
6, 7, 11, 12,
16,
18, 21, 23,
26,
28, 31, 33,
38,
41, 42,
2,
36, 46, 47
16
4 20
Kepercayaan
3,
8, 13, 17,
22,
27, 32, 37,
43,
48
-
10 - 10
Kecocokan
pribadi
4,
9, 14, 24,
29,
34, 39, 44,
49
19
9 1 10
Penyesuaian
diri
5,
10, 15, 30,
35,
45, 50
20,
25, 40
7
3 10
Total
42
8 50
Berdasarkan
penghitungan reliabilitas alat ukur ini, didapatkan koefisien
korelasinya
sebesar 0,954. koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa skala
intimasi
pelatih – atlet tersebut handal. Dengan demikian, aitem-aitem tersebut
dapat
digunakan untuk penelitian dan disusun kembali seperti pada tabel 10
berikut.
Tabel
10. Distribusi Aitem Valid Skala Intimasi Pelatih – Atlet
Ket
: tanda (...) dan ditebalkan adalah nomor baru untuk aitem yang valid
3.
Pelaksanaan Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedua skala yang telah diujicobakan. Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 21 November 2006 di SMU 15 Semarang. Subjek yang ikut
dalam penelitian ini adalah semua atlet binaan IPSI Semarang, sebanyak 46
orang. Penelitian dilakukan secara klasikal Nomor Aitem No. Dimensi
Favourable
Unfavourable
Jumlah
Bobot
1.
Pengungkapan diri
1
(1), 11 (9),
12
(14), 21
(22),
23 (29),
31
(36), 33
(39),
41 (41) ,
42
(42)
6
(5), 7 (13),
16
(18), 18
(25),
26 (32),
28
(38), 38
(40)
16
38, 09%
2.
Kepercayaan
3
(6), 13 (19),
22
(26), 32
(33),
43 (37)
8
(2), 17 (10),
27
(15), 37
(23),
48 (30)
10
23,81%
3.
Kecocokan pribadi
4
(3), 14 (11),
24
(16), 34
(24),
44 (31),
9
(7), 29 (20),
39
(27), 49
(34)
9
21,43%
4.
Penyesuaian diri
5
(8), 15 (21),
35
(28), 45
(35)
10
(4), 30
(12),
50 (17) 7 16,67%
Total
23 19 42 100%
pada
pukul 16.00 WIB sampai 16.30 WIB. Pada penelitian ini, peneliti juga
dibantu
oleh asisten pelatih.
Sebelum
penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemberian
Angket
Kecemasan Bertanding (State-A dan Trait-A) kepada subjek. Setelah
dilakukan
penyekoran diperoleh bahwa subjek homogen karena semua atlet
memiliki
trait-A yang rendah. Oleh karena itu, semua subjek diikutkan pada
penelitian
ini. Jumlah subjek pada penelitian adalah sama ketika uji coba kedua
skala,
yaitu sebanyak 46 orang atlet.
0
Rendah 6,7 Sedang 13,33 Tinggi 20
Gambar.
3
Gambaran
tingkat trait-A
Dalam
rangka menghilangkan efek belajar subjek terhadap alat ukur yang
digunakan,
maka peneliti memberi jarak waktu yang lama antara uji coba dengan
waktu
penelitian. Jarak antara penelitian adalah satu bulan tiga belas hari.
Kemudian,
alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang telah disusun kembali
dengan
tampilan yang berbeda dengan alat ukur pada uji coba. Perubahan
dilakukan
pada sampul depan penempatan aitem dalam skala dan format option
jawaban.
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah semua
atlet silat tanding IPSI Semarang. Atlet ini merupakan atlet daerah yang
memiliki prestasi yang baik di tingkat Jawa Tengah dan berpotensi, sebagai
bibit atlet nasional. Usia mereka masih usia 46 0 0 sekolah menengah, berkisar
antara 16-18 tahun. Atlet memiliki kecenderungan cemas (trait-A) yang rendah,
serta telah pernah menjalani training center. Jumlah subjek dalam penelitian
adalah sebanyak 46 orang.
C. Hasil Analisis Data
dan Interpretasi
Analisis data dilakukan untuk menguji
hipotesis yang telah diajukan dengan cara memberikan skor total pada
masing-masing variabel penelitian. Sebelum analisis data dilakukan, terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi pada data penelitian. Uji asumsi yang diperlukan
untuk menguji data penelitian adalah uji normalitas sebaran variabel penelitian
dan uji linearitas hubungan antara variabel prediktor dengan variabel
kriterium.
1.
Uji Normalitas
Uji
normalitas data bertujuan untuk melihat apakah data yang diperoleh terdistribusi
normal atau tidak. Teknik yang digunakan untuk menguji kenormalan data tersebut
adalah teknik Kolmogorov-Smirnov Goodnest of Fit Test. Berdasarkan analisis
yang telah dilakukan kedua variabel yang digunakan dalam penelitian
terdistribusi normal. Dengan kata lain, uji normalitas terpenuhi.
Berikut
dapat dilihat tabel 11 yang memuat uji normalitas sebaran data
penelitian
untuk kedua variabel penelitian.
Tabel
11. Uji Normalitas Sebaran Data
Variabel
Kecemasan Bertanding dan Intimasi Pelatih-Atlet
Variabel
Kolmogorov-Smirnov P (p > 0,05) Bentuk
Kecemasan
Bertanding 0, 814 0, 521 Normal
Intimasi
Pelatih-Atlet 0, 739 0, 646 Normal
2.
Uji Linearitas
Uji linearitas ini dimaksudkan untuk
mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor dengan variabel kriteriumnya.
Hasil uji linearitas hubungan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan
bertanding diperoleh F lin = 8,378 dengan p = 0,006 (p < 0,05). Hasil uji
linearitas kedua variabel dapat dilihat pada tabel 12 berikut :
Tabel
12. Uji Linearitas
Variabel
Kecemasan Bertanding dan Intimasi Pelatih-Atlet
Nilai
F P (p < 0,05) Bentuk
8,378
0,006 Linear
Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan
antara kecemasan bertanding dengan intimasi pelatih-atlet adalah linear. Oleh
karena terpenuhinya asumsi tersebut, maka model analisis regresi dapat
digunakan untuk memprediksi hubungan antara kecemasan bertanding dengan
intimasi pelatih-atlet. Hadi (1995) mengatakan bahwa korelasi antara variabel
kriterium dengan variabel prediktor dapat dilukiskan dalam suatu garis regresi,
untuk garis regresi linear dengan satu variabel prediktor, persamaan linearnya,
adalah Y = aX + K . Dengan demikian, korelasi linear negatif kecemasan
bertanding dengan intimasi pelatih-atlet dapat dibuat persamaannya regresinya,
sebagai berikut:
3.
Uji Hipotesis
Hubungan antara kedua variabel,
kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet ditunjukkan dengan skor
korelasi sebesar rxy = -0,4 dengan p = 0,003 (p<0,05). Hasil uji hipotesis
ini menunjukkan bahwa teradapat hubungan negatif yang signifikan antara
kecemasan bertanding dan intimasi pelatih-atlet. Dengan demikian, hipotesis
yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecemasan
bertanding dan intimasi pelatih-atlet dapat diterima. Arah hubungan yang
negatif menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatihatlet, maka semakin
rendah tingkat kecemasan bertanding.
Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 13, 14, dan 15 dibawah ini :
Tabel
13.
Deskripsi
Statistik Penelitian
Variabel
Mean Standar deviasi N
Kecemasan
Bertanding 78,00 23,846 46
Intimasi
Pelatih-Atlet 113,35 20,319 46
Tabel
14.
Rangkuman
Analisis Regresi Variabel Penelitian
Model
Sum of Square Df Mean Square F Sig.
Regression
4092,831 1 4092,831 8,378 0,006
Residual
21495,169 44 488,527
Total
25588,000 45
Y
= 759 – 5,22X
Tabel
15.
Koefisien
Determinasi Penelitian
Model
r r Square Adjusted r Square Std. Error of Estimate
1
-0,400 0,160 0,141 22,103
Pada
tabel 15 di atas, dapat dilihat bahwa koefisien determinasi yang
ditunjukkan
oleh r Square adalah 0,16. Angka tersebut mengandung pengertian
bahwa
intimasi pelatih-atlet memberikan sumbangan efektif 16% terhadap
kecemasan
bertanding. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa variabel kecemasan
bertanding
dapat diprediksi oleh intimasi atlet terhadap pelatih sebesar 16% dan
sisanya
sebesar 84% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor-faktor lain tersebut
adalah
kepribadian atlet, rasa percaya diri, kesiapan fisik dan mental atlet serta
lingkungan
dan situasi pertandingan.
Pada
Bab ini juga akan dipaparkan gambaran umum skor variabel
kecemasan
bertanding, yang dapat dilihat pada tabel 16 berikut.
Tabel
16. Gambaran Umum Skor Variabel Kecemasan Bertanding
dan
Intimasi Pelatih-Atlet
Variabel
Statistik Hipotetik Empiris
Kecemasan
Bertanding
Skor
Minimal
Skor
Maksimal
Mean
SD
0
188
94
31,33
25
115
78
23,846
Intimasi
Pelatih-Atlet
Skor
Minimal
Skor
Maksimal
Mean
SD
0
168
84
28
80
160
113,35
20,319
Berdasarkan
tabel 16 di atas, akan dibuat suatu kategorisasi untuk
memberikan
makna terhadap hasil penelitian. Kategorisasi bersifat relatif
sehingga
peneliti dapat menetapkan secara subjektif luasnya interval yang dapat
mencakup
setiap kategori (Azwar, 1999). Pada tabel 17 dan 18 berikut ini, dapat
dilihat
klasifikasi kategori untuk kedua variabel penelitian, yang akan digunakan
sebagai
data tambahan dalam pembahasan.
Pada
tabel 17 berikut akan digambarkan kategorisasi variabel kecemasan
bertanding
Tabel
17.
Kategori
Variabel Kecemasan Bertanding
Rendah
sekali Rendah Sedang Tinggi Tinggi sekali
15,65
46,95 78,35 109,65 140,95 172,35
Berdasarkan
tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa Mean Empirik (ME)
variabel
kecemasan bertanding yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 78.
Nilai
empirik 78 lebih kecil dari nilai hipotetik 94, angka ini menunjukkan bahwa
tingkat
kecemasan bertanding atlet berada dalam kategori rendah, yaitu pada
rentang
46,95 sampai dengan 78,35.
Pada
tabel 18 berikut ini akan digambarkan kategorisasi variabel intimasi
pelatih-atlet.
Tabel
18.
Kategori
Variabel Intimasi Pelatih – Atlet
Buruk
Sekali Buruk Sedang Baik Baik sekali
14
42 70 98 126 154
Berdasarkan
tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa Mean Empirik (ME)
variabel
intimasi pelatih-atlet pada penelitian ini sebesar 113,35 lebih besar dari
mean
hipotetik 84. Nilai ini mengindikasikan bahwa variabel intimasi pelatih-atlet
berada
pada kategori baik, pada rentang 112 sampai dengan 148.
BAB V
PENUTUP
A. Bahasan
Pengujian hipotesis yang telah dilakukan
sebelumnya diperoleh harga bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding, dimana rxy = -0,4
dengan p = 0,003 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang
diajukan pada penelitian ini, yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara intimasi pelatihatlet dengan kecemasan bertanding dapat
diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatih dengan
atletnya maka akan diikuti dengan
semakin
menurunnya tingkat kecemasan bertanding atlet. Hasil penelitian ini juga
mendukung pernyataan Lee (1993) yang mengatakan bahwa adanya intimasi
pelatih-atlet secara signifikan dapat mereduksi kecemasan atlet. Selanjutnya,
Florian, Mikulincer, Hirschberger (2002) melaporkan berbagai hasil penelitian,
bahwa di saat seseorang mengalami perasaan terancam dan mengalami keterbatasan
dalam mengatasi perasaan ancaman tersebut, maka orang tersebut akan termotivasi
untuk meningkatkan kedekatan dan intimasi dengan orang terdekatnya, karena
orang terdekatnya akan membantu mereka untuk menolak perasaan ancaman tersebut.
Kemudian, dalam penelitiannya pun ditemukan bahwa hubungan yang dekat merupakan
suatu dasar penyangga kecemasan (anxiety buffer) karena hubungan yang dekat
merupakan sumber kekuatan dalam diri seseorang yang berfungsi untuk meregulasi
distress, serta juga merupakan suatu alat yang efektif sebagai sumber
penyesuaian terhadap ketakutan.
Berdasarkan uraian di atas, juga dapat
dijelaskan bahwa dengan adanya intimasi pelatih-atlet membantu atlet dalam
mengendalikan dan melakukan penyesuaian dengan tekanan-tekanan pertandingan.
Pengendalian dan penyesuaian yang baik dapat menurunkan tingkat kecemasannya
dalam menghadapi pertandingan. Oleh karena itu, bila atlet memiliki intimasi
yang baik dengan pelatih, maka tingkat kecemasan bertandingnya rendah.
Pada penelitian terhadap atlet IPSI
Semarang ditemukan bahwa faktor yang menjadi sumber kecemasannya dalam
bertanding adalah adanya pikiran khawatir mengenai pertandingan yang akan
dihadapinya, siapa lawan yang akan dihadapi, harapan akan kemenangan dan
situasi lingkungan pertandingan. Akan tetapi, adanya intimasi yang baik dengan
pelatih kecemasannya tersebut dapat mereka atasi dan tanggapi dengan hal-hal
yang positif, sehingga tingkat kecemasan bertandingnya rendah. Intimasi yang
baik antara pelatih-atlet ditunjukkan dengan adanya self disclosure
(pengungkapan diri) dalam hubungan interpersonal yang dijalin dengan pelatih.
Pengungkapan diri dengan pelatih mengenai ketakutan dan tekanantekanan pertandingan
membantu atlet dalam menyalurkan tekanan-tekanan tersebut. Tersalurkannya
tekanan-tekananan tersebut, maka dalam diri atlet timbul perasaan nyaman dan
tenang, yang akhirnya dapat mereduksi kecemasannya dalam menghadapi
pertandingan.
Hartanti (2004) dalam penelitiannya,
menemukan bahwa salah satu cara yang dilakukan atlet dalam mereduksi
kecemasannya saat menghadapi pertandingan adalah berdiskusi dengan pelatihnya.
Begitu juga halnya yang dilakukan salah seorang atlet dari tiga atlet yang
diwawancarai tanggal 24 November 2006, mengatakan bahwa perasaan cemas yang
menghinggapinya sebelum bertanding, bisa mereda setelah ia mengungkapkan
kegelisahan dan kecemasan kepada pelatih.
Intimasi yang baik dengan pelatih juga
ditunjukkan dengan adanya kepercayaan atlet kepada pelatihnya. Adanya self
disclosure dalam berbagi informasi mengenai sifat, sikap, nilai dan keyakinan
antara pelatih-atlet meningkatkan saling pengertian dan saling memahami pribadi
masing-masing. Suasana ini akan menimbulkan suatu perasaan penerimaan dalam
diri atlet. Perasaan diterima dan dihargai oleh pelatih dapat meningkatkan
harga diri dan
kepercayaan
diri atlet bila bertanding.
Pate at al (1993) mengatakan bahwa atlet
yang mau mengungkapkan dan membagi perasaan, keyakinan, nilai dan tingkah
lakunya kepada pelatih, maka pelatih akan lebih mudah untuk memberi perhatian
pada kualitas yang positif pada atlet tersebut dan menanggapi ungkapan perasaan
tersebut dengan dorongan. Akhirnya atlet akan merasa nyaman dan percaya diri
bila bertanding untuk pelatihnya. Sebaliknya, atlet akan menyukai dan
menghargai pelatihnya. Dengan demikian, terbentuk suatu hubungan yang akrab,
saling melengkapi, saling menguntungkan, saling mendorong dan saling mendukung.
Hubungan yang akrab antara pelatih dengan atlet dapat dilihat, seperti diungkapkan
oleh tiga orang atlet pada wawancara tanggal 24 November 2006.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga
orang atlet tersebut, diperoleh bahwa pelatih bagi mereka bukan hanya sebagai
pelatih tapi lebih dari itu, juga sebagai tempat berbagi perasaan di saat
kurangsiap atau merasa cemas untuk menghadapi pertandingan dan masalah-masalah
yang lainnya. Pelatih bagi mereka juga sebagai motivator dan sumber dukungan
sosial di saat mereka merasa tertekan menghadapi pertandingan. Kemudian,
keakraban antara pelatih dan atlet juga tampak pada salam hangat dengan
menjabat tangan pelatihnya erat. Pelatih pun membalas salam mereka dengan
menjabat tangan, kadang dengan diiringi dengan menepuk pundak atletnya, seperti
memberikan semangat pada atletnya. Self disclosure dengan pelatih terjadi
apabila pelatih juga memperlihatkan sikap keterbukaan, sikap responsif dan
perhatian kepada atletnya. Sikap pelatih yang seperti ini akan menimbulkan
suatu keberanian bagi atlet untuk membuka dirinya kepada pelatih. Kemudian,
juga menimbulkan kepercayaan dalam diri atlet bahwa pelatih adalah orang yang
paling diyakini untuk tempat berbagi perasaan dan orang yang akan bisa
membantunya untuk mengatasi kecemasaannya tersebut.
Terbentuknya kepercayaan dan keyakinan
bahwa pelatih adalah orang yang dapat membantunya untuk mengatasi kecemasannya,
akan menimbulkan suatu persepsi atlet terhadap pelatih bahwa pelatih adalah
seorang motivator, tempat memperoleh dukungan sosial dan fasilitator sehingga
pelatih tidak dirasakan sebagai seorang yang memberikan tekanan dalam
menghadapi pertandingan.
Suparmi dan Setiono (2000) mengatakan
bahwa pada saat mengalami masalah-masalah psikologis, seseorang akan
mendapatkan dukungan sosial justru karena adanya intimasi dalam hubungan yang
dijalin. Tiga atlet yang diwawancarai tanggal 24 November 2006 mengungkapkan bahwa
pelatih tidak terlalu menuntut untuk harus memenangkan pertandingan di setiap
pertandingan dan di saat mereka mengalami kegagalan, pelatih selalu
memberikan
semangat dan dorongan agar tampil lebih maksimal lagi di pertandingan yang
lain. Saat atlet ini latihan tarung pun, pelatih terkesan juga memberikan
semangat dan dukungan pada atlet yang tampil kurang maksimal.
Setelah atlet tersebut selesai
bertarung, pelatih mengajak atlet berdiskusi mengenai apa yang harus
diperbaiki, ditingkatkan dan yang dipertahankan dalam penampilannya. Pada saat
itu, pelatih memberikan kesempatan kepada atlet untuk mengevaluasi
penampilannya sendiri. Self disclosure antara pelatih dengan atlet IPSI
Semarang juga tampak pada komunikasi dua arah antara atlet dengan pelatih.
Komunikasi dua arah menciptakan suasana latihan mereka tidak tegang. Pelatih
pun sangat memperhatikan (responsif) keadaan masing-masing atletnya. Sebelum
latihan, pelatih menyempatkan waktunya untuk menyapa semua atletnya dan
menanyakan kabar dan kegiatan hari itu, kadang diikuti dengan candaan. Selama
latihan, pelatih juga tidak terlihat mendikte atau memerintah atlet. Pelatih
hanya memberikan instruksi pada awal latihan mengenai apa yang harus dilakukan
atlet. Setelah itu pelatih hanya mengamati dan sedikit memberikan arahan-arahan
apabila ada atlet yang melakukan kesalahan. Pelatih juga melibatkan atletnya dalam
diskusi-diskusi kecil seputar latihan dan peningkatannya, sebelum atau setelah
latihan.
Adanya kecocokan pribadi (personal
compatibility) antara pelatih dan atlet menunjukkan adanya kemampuan untuk
menemukan persamaan dalam perbedaan, saling melengkapi kekurangan. Ini akan
membentuk suatu kerjasama yang baik dan perasaan kebersamaan antara
pelatih-atlet serta perasaan nyaman bagi atlet. Cox (2002) menjelaskan bahwa
kecocokan pelatih-atlet dicirikan dengan adanya komunikasi yang baik dan
pelatih selalu menunjukkan sikap menghargai kepada atletnya, sehingga terbentuk
kerjasama yang baik dan perasaan kebersamaan.
Perasaan dihargai, kerjasama yang baik
dan terbentuknya kebersamaan dalam hubungan pelatih-atlet akan membentuk konsep
diri atlet yang positif. Konsep diri atlet yang positif akan membantunya dalam
menilai tekanan-tekanan pertandingan sebagai suatu hal yang positif. Apabila
atlet menilai situasi pertandingan sebagai hal yang positif, maka respon
kecemasan yang berlebihan tidak akan muncul atau tingkat kecemasan
bertandingnya rendah.
Sikap
toleransi pelatih dan kerjasama pelatih dengan atlet IPSI Semarang juga
terjalin baik. Jika atlet tidak dapat hadir pada saat latihan atau terlambat datang
latihan karena ada kepentingan lain seperti urusan keluarga atau sekolah, maka
pelatih akan sangat memaklumi dan menerima alasan-alasan tersebut. Hukuman
hanya diberikan bila atlet tidak hadir latihan selama tiga kali berturutturut tanpa
alasan yang jelas. Atlet diberi surat peringatan. Setelah tiga kali diberikan
surat peringatan dan atlet tidak menanggapinya, maka atlet akan dikeluarkan
dari tim. Intimasi yang baik antara pelatih dengan atlet juga ditunjukkan
dengan
adanya
perasaan empati dan adanya dukungan sosial dari pelatih. Dorongan, dukungan dan
nasehat-nasehat yang diberikan pelatih akan membantu atlet dalam menilai
situasi secara lebih positif. Dorongan pelatih merupakan suatu sumber kekuatan
diri bagi atlet, sehingga dengan dorongan tersebut timbul kembali kepercayaan
dirinya untuk menghadapi pertandingan. Tiga atlet yang diwawancarai tanggal 24
November 2006, mengatakan bahwa pelatih adalah orang yang paling mereka
harapkan kehadirannya di saat mereka bertanding, karena dengan kehadiran
pelatih memberikan suatu dukungan dan kekuatan atau semangat, di saat mereka
bertanding sehingga dengan dukungan tersebut dapat membangkitkan rasa percaya
dirinya untuk bertanding.
Tingkat kecemasan bertanding atlet IPSI
Semarang ini rendah, juga didukung oleh pengalaman dan frekuensi bertanding
yang sering. Atlet yang sudah berpengalaman atau ahli memiliki kemampuan
kontrol yang baik dalam mengendalikan gejala-gejala kecemasan dibandingkan
dengan atlet pemula (Fenz dan Epstein dalam Hardy, 1999) Atlet IPSI Semarang
merupakan atlet muda tetapi atlet ini merupakan atlet yang sudah berpengalaman.
Atlet yang bergabung dalam IPSI Semarang adalah atlet yang telah mengikuti
banyak pertandingan, baik di daerah Semarang sendiri maupun di luar daerah
Semarang. Atlet ini tidak hanya pernah mengikuti pertandingan yang
diselenggarakan oleh IPSI, tetapi juga berprestasi pada pertandingan antar
perguruan. Selain itu, untuk bergabung dalam IPSI Semarang mereka telah melalui
beberapa kali pertandingan seleksi dan memiliki prestasi di tingkat Jawa Tengah.
Setiap tiga bulan sekali, atlet-atlet ini melakukan uji tanding keluar. Daerah
sasaran untuk melakukan uji tanding tersebut adalah Banyumas dan Solo.
Berdasarkan uraian di atas, jelas
tergambar bahwa intimasi pelatih-atlet yang baik memiliki arti penting terhadap
kecemasan bertanding. Dimana intimasi pelatih-atlet menumbuhkan kepercayaan
diri bila bertanding, menciptakan suasana yang nyaman, hangat, bersahabat dan
harmonis yang dapat membangkitkan motivasi atlet bertanding dan sumber dukungan
emosional bagi atlet. Kesemuanya diperlukan atlet dalam menghadapi
pertandingan, agar atlet dapat menilai situasi pertandingan sebagai hal yang
positif, sehingga respon kecemasannya rendah.
Setelah dilakukan penelitian, ditemukan
bahwa sebagian besar subjek penelitian didominasi oleh atlet pria sebanyak 31
orang (N = 31) dan sisanya, atlet wanita sebanyak 15 orang (N = 15 ). Dengan
demikian, akan dilakukan analisis mengenai perbedaan tingkat kecemasan
berdasarkan jenis kelamin, sebagai analisis tambahan. Perbedaan tingkat
kecemasan bertanding akan diuji dengan menggunakan teknik Independent Sampel T
Test dengan bantuan SPSS 12.00 Berdasarkan hasil analisis Independent Sampel T
Test, didapatkan p = 0, 926 (p > 0,05) dengan nilai F = 0,009 ada di Equal
Variance assumed, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
kecemasan bertanding berdasarkan jenis kelamin. Tidak adanya perbedaan tersebut
disebabkan karena setiap atlet, baik atlet putri atau pun atlet laki-laki
memiliki tugas dan kewajiban yang sama, dengan beban latihan yang sama tanpa
adanya perbedaan.
Hasil ini didukung oleh hasil penelitian
Wirawan (1999) yang juga menemukan bahwa tidak adanya perbedaan tingkat
kecemasan yang signifikan antara atlet pria dengan atet wanita. Tidak adanya
perbedaan tersebut juga disebabkan karena tidak adanya perbedaan perlakuan
pelatih baik pada atlet pria maupun wanita. Seluruh atlet memiliki tugas dan
kewajiban yang sama, dengan beban latihan yang sama, tanpa adanya perbedaan.
Hasil analisis regresi yang telah dilakukan
sebelumnya, menunjukkan bahwa intimasi pelatih-atlet memberikan sumbangan
efektif sebanyak 16% terhadap kecemasan bertanding. Kondisi ini menunjukkan
bahwa variabel kecemasan bertanding dapat diprediksi oleh intimasi atlet
terhadap pelatih sebesar 16,0% dan sisanya sebesar 84,0% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain, antara lain kepribadian atlet, rasa percaya diri, kesiapan
fisik dan mental atlet serta lingkungan dan situasi pertandingan.
B. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh simpulan sebagai
berikut
:
1.
Ada hubungan negatif yang signifikan antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan
bertanding, dengan rxy = -0,4 dan p = 0,003 (p < 0,05). Angka ini menunjukkan
bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dapat diterima. Kondisi ini
menunjukkan bahwa semakin baik intimasi pelatihatlet maka semakin rendah
tingkat kecemasan bertanding atlet, sebaliknya semakin buruk intimasi
pelatih-atlet maka semakin tinggi tingkat kecemasan bertanding atlet.
2.
Sumbangan efektif yang diberikan variabel intimasi pelatih-atlet sebesar 16%.
Kondisi ini mengandung pengertian bahwa tingkat kecemasan bertanding atlet
ditentukan oleh variabel intimasi pelatih-atlet sebesar 16% dan 84% lagi
ditentukan oleh variabel lain.
3.
Prediksi korelasi antara intimasi pelatih-atlet dengan kecemasan bertanding dapat
dirumuskan melalui persamaan garis regresi, seperti berikut:
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1.
Atlet
Penelitian ini menunjukkan bahwa
intimasi pelatih-atlet memiliki pengaruh pada tingkat kecemasan bertanding.
Oleh karena, bagi atlet yang telah memiliki intimasi yang baik dengan pelatih
disarankan agar mempertahankan intimasi yang telah terjalin dengan baik selama
ini atau bahkan sebaiknya dapat meningkatkan intimasi menjadi lebih baik lagi.
Kemudian, juga dapat disarankan bahwa atlet jangan terlalu mengharapkan
intimasi yang dijalin dengan pelatih sebagai suatu sarana utama dalam mengatasi
dan mengendalikan kecemasannya, tetapi atlet juga harus memiliki kemandirian
untuk mengendalikan kecemasannya. Y = 759 – 5,22X
2.
Pelatih
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disarankan bahwa peran pelatih sebagai motivator dan sumber dukungan emosional
bagi dapat diterapkan dengan baik dengan mempertahankan intimasi yang telah
dijalin selama ini. Selain itu, disarankan bahwa pelatih juga perlu
memperhatikan faktor-faktor internal yang mungkin lebih berpengaruh terhadap
kecemasan atlet dalam menghadapi pertandingan, serta dapat memberikan latihan
kemandirian pada atlet dalam mengatasi masalah dan tekanan-tekanan
pertandingan.
3.
Pengurus IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) Semarang
Disarankan kepada pengurus IPSI Semarang
bahwa pentingnya untuk meningkatkan peran pelatih sebagai seorang konselor,
sebagai motivator karena hal ini penting dalam pembinaan aspek psikologis
bertanding atlet, terutama aspek kecemasan bertanding. Peningkatan ini mungkin
dilakukan dengan memberikan suatu program pelatihan kepada pelatih, misalnya
pelatihan sebagai seorang konselor, efektifitas komunikasi pelatih-atlet dan
pentingnya intimasi dalam hubungan pelatih-atlet.
Selain itu, juga disarankan bahwa
pentingnya program rekreasi sekali seminggu untuk keakraban yang sudah ada,
dapat diterapkan sebaik mungkin.. Program ini penting karena dapat meningkatkan
intimasi antara pelatih dengan atlet. Selain itu, program ini dapat
meningkatkan hubungan yang baik antara atlet, pelatih dan pengurus, sehingga
dapat menghindari konflik yang mungkin dapat menimbulkan kecemasan bagi atlet
dalam menghadapi pertandingan.
4.
Penelitian selanjutnya
Bagi peneliti yang berminat untuk
memperdalam penelitian dalam topik yang sama, bisa mengembangkan penelitian ini
dengan memperbesar jumlah subyek penelitian, meneliti dalam cabang olahraga
yang berbeda-beda, memodifikasi alat ukur yang digunakan, variabel lain yang
belum diungkap dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang menentukan
kecemasan bertanding, misalnya kepribadian atlet, kesiapan fisik dan mental
atlet serta lingkungan dan situasi pertandingan.
Selain itu, juga disarankan untuk
menggunakan metode lain misalnya interview yang mendalam (depth interview),
agar lebih banyak dapat mengungkap dan menggambarkan kecemasan bertanding
subjek, serta disarankan agar mempertimbangkan waktu pemberian skala kepada
atlet, misalnya beberapa hari mendekati hari pertandingan.
Sumber: eprints.undip.ac.id/10947/1/SKRIPSI.pdf
Artikel terkait
:
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KECEMASAN OLAHRAGA
Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://vanbolon.blogspot.com/2013/09/kecemasan-olahraga.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5